Thursday, August 18, 2011

Hudhud menuturkan pada mereka perjalanan yang dimaksudkan

Setelah Hudhud selesai berbicara, burung-burung pun mulai mengetahui tentang rahasia-rahasia purba dan pertalian mereka sendiri dengan Simurgh. Tetapi meskipun mereka dicekam keinginan hendak menempuh perjalanan itu, namun mereka mengelak-elak untuk berangkat disebabkan keraguan masih selalu mengganggu pikirannya. Maka mereka pun berkata pada Hudhud, “Adakah kau mengharapkan kami agar meninggalkan hidup kami yang tenang ini dengan segera? Kami burung-burung yang lemah ini sendiri tak mungkin berharap akan mendapatkan jalan ke tempat luhur itu, di mana Simurgh hidup.”
Hudhud menjawab, “Aku bicara pada kalian sebagai penunjuk jalan. Ia yang mencinta tak peduli akan hidupnya sendiri; untuk mencintai dengan tulus, siapa pun harus melupakan dirinya sendiri, baik ia zahid1 atau orang yang hidup bebas. Apabila nafsu-nafsu kalian tak selaras dengan jiwa kalian, korbankanlah itu, dan kalian pun akan sampai ke tujuan perjalanan kalian. Apabila sosok nafsu merintangi jalan, campakkanlah itu; kemudian arahkan mata kalian ke muka dan pusatkan pikiran. Yang bodoh akan bertanya, ‘Apakah hubungan antara keimanan atau kekufuran dengan cinta?’ Tetapi kataku, ‘Adakah mereka yang mencinta peduli akan hidupnya? Yang mencinta membakar segala harapan panen, ia menetakkan mata pedang ke lehernya sendiri, ia menusuk tubuhnya sendiri. Dengan cinta timbul duka dan darah hati. Cinta-mencintai yang serba sulit.’
O Pembawa piala! Isi pialaku dengan darah hatiku, dan bila tak ada lagi, beri aku endapannya. Cinta ialah kepedihan yang tak kenal ampun, yang menelan segalanya. Kadang ia merenggutkan cadar dari jiwa, kadang merapatkannya. Sezarrah cinta lebih baik dari sekalian yang ada antara segala ufuk, sezarrah kepedihannya lebih baik dari cinta bahagia yang ada pada segala mereka yang mencinta. Cinta memang sumsum segala yang hidup; tetapi tiada cinta yang nyata tanpa penderitaan yang nyata. Siapa berpegang teguh pada cinta tak mementingkan keimanan, agama maupun kekufuran. Cinta akan membukakan pintu kemiskinan ruhani dan kemiskinan ruhani akan menunjukkan pada kalian jalan kekufuran. Bila tiada yang tinggal lagi, baik kekufuran, maupun agama, maka jiwa raga kalian akan lenyap; maka barulah kalian layak menemukan kerahasiaan itu –bila kalian mau menjajakinya; inilah jalan satu-satunya.
Maka majulah, tanpa takut. Tinggalkan segala yang kekanak-kanakan, dan lebih dari segala itu, tabahkan hati; sebab seratus perubahan ihwal akan kalian alami tanpa bisa diduga-duga.

Kisah Syaikh San’an

Syaikh San’an orang suci di zamannya, dan telah menyempurnakan dirinya hingga ke tingkat yang tinggi. Lima puluh tahun lamanya ia tinggal dalam pengasingan diri bersama empat ratus muridnya yang melatih diri siang dan malam. Syaikh itu banyak ilmunya dan dianugerahi petunjuk lahir dan batin. Sebagian besar hidupnya telah dilewatkannya dalam ibadah-ibadah haji ke Mekah. Salat dan puasanya tiada terhitung lagi dan ia tak meninggalkan sedikit pun amalan-amalan Ahlus sunnah. Ia dapat melakukan keajaiban-keajaiban, dan nafasnya menyembuhkan mereka yang sakit dan menderita.
Suatu malam ia bermimpi pergi dari Mekah ke Yunani dan di sana menyembah patung; dan terjaga dicekam sedih dari mimpi yang menekan ini, ia pun berkata pada murid-muridnya, “Aku harus segera berangkat ke Yunani hendak melihat apakah aku dapat menemukan arti impian ini.”
Bersama empat ratus muridnya ia meninggalkan Ka’bah dan pada waktunya sampailah ia ke Yunani. Mereka pun berjalan dari ujung ke ujung negeri itu, dan suatu hari kebetulan tiba di tempat di mana terlihat seorang dara sedang duduk di langkan. Dara ini orang Nasrani, dan airmukanya menunjukkan bahwa ia memiliki pembawaan suka merenungkan masalah-masalah mengenai Tuhan. Keindahannya bagai matahari dalam seri kegemilangannya, dan keagungannya bagai nama-nama rasi bintang. Karena cemburu akan seri cahaya si dara, bintang pagi pun lama melena di atas rumahnya. Siapa terjerat hatinya di rambut gadis itu akan mengenakan tali pinggang orang Nasrani, dan yang nafsunya hinggap pada manikam mirah bibirnya akan merasa kebingungan. Pagi tampak lebih hitam warnanya karena rambut hitam gadis itu, dan negeri Yunani tampak berkeriput karena keindahan tahi lalatnya. Kedua matanya umpan bagi para pencinta, dan kedua alisnya yang melengkung merupakan dua bilah sabit di atas bulan kembar. Bila tenaga membuat biji matanya bersinar, seratus hati pun menjadi mangsanya. Wajahnya berbinar bagai nyala api yang hidup, dan manikam mirah bibirnya yang basah dapat membuat semesta dunia dahaga. Bulu-bulu matanya yang lunglai ialah seratus pisau belati, dan mulutnya begitu mungil sehingga kata-kata saja pun tak dapat lalu. Pinggangnya, lampai bagai sehelai rambut, terhimpit sepanjang lingkarzunnarnya2 dan lekuk perak dagunya begitu menghidupkan bagai khotbah-khotbah Isa.
Bila ia mengangkat sesudut cadarnya, hati syaikh itu pun berkobar; dan seutas rambut saja mengikat pinggangnya dengan seratus zunnar layaknya. Tak dapat ia mengalihkan matanya dari gadis Nasrani ini, dan sedemikian besar cintanya hingga maksudnya terluncur dari tangannya. Kekufuran dari rambut si gadis menghamburkan diri pada keimanan Syaikh itu. Syaikh itu pun berseru, “O betapa hebat cinta yang kurasakan terhadapnya ini. Bila agama membebaskan kita, alangkah beruntungnya hati!”
Ketika pengikut-pengikutnya mengerti apa yang telah terjadi dan mengetahui keadaan yang melibatnya, mereka pun pusing memikirkannya. Sebagian mulai menyadarkannya, tetapi ia tak mau mendengarkan. Ia hanya berdiri saja siang dan malam, matanya tertuju ke langkan dan mulutnya ternganga. Bintang-bintang yang bersinar bagai lelampu meminjam panas dari orang suci yang terbakar hatinya ini. Cintanya tumbuh membesar hingga ia lupa diri. “O Rabbi,” doanya, “dalam hidup hamba ini, hamba telah berpuasa dan menderita, tetapi belum pernah hamba menderita seperti ini; hamba dalam azab. Malam sepanjang dan sehitam rambutnya. Di manakah lampu Sorga? Adakah keluhan-keluhan hamba telah memadamkannya ataukah lampu itu menyembunyikan diri lantaran cemburu? Di manakah nasib baik hamba? Mengapakah ia tak menolong hamba mendapatkan cinta gadis itu? Dimanakah akal budi hamba agar hamba dapat mempergunakan pengetahuan hamba? Di manakah tangan hamba untuk menyucikan kepala hamba? Di manakah kaki hamba untuk berjalan mendapatkan kekasih hamba, dan mata hamba untuk melihat wajahnya? Di manakah kekasih hamba yang akan memberikan hatinya pada hamba? Apakah artinya cinta ini, duka ini, kepedihan ini?”
Sahabat-sahabat syaikh itu datang lagi padanya. Seorang berkata, “Sadarlah Tuan dan enyahkan godaan ini. Berpeganglah pada diri Tuan sendiri dan lakukan sesuci yang ditetapkan.” Jawab syaikh itu, “Tidakkah kalian tahu bahwa malam ini aku telah melakukan seratus kali sesuci, dan dengan darah hatiku?” Yang lain berkata, “Di manakah untaian tasbih Tuan? Bagaimana dapat Tuan berdoa tanpa itu?” Jawabnya, “Telah kucampakkan untaian tasbihku agar aku dapat mengenakan zunnar orang Nasrani.” Yang lain lagi berkata, “O syaikh yang suci, bila Tuan berdosa lekaslah bertaubat.” “Aku bertaubat kini,” jawabnya, “karena telah mengikuti hukum yang benar, dan aku hanya ingin meninggalkan hal yang bukan-bukan itu.” Seorang lagi berkata, “Tinggalkan tempat ini dan pergilah menyembah Tuhan.” Jawabnya, “Kalau saja patung pujaanku di sini, akan layaklah bagiku untuk bersujud di hadapannya.” Yang lain berkata, “Kalau demikian, Tuan tidak pula berusaha untuk bertaubat! Apakah Tuan bukan lagi pengikut Islam?” Jawab Syaikh itu, “Tiada orang yang bertaubat lebih dari aku, merasa menyesal bahwa selama ini aku tak pernah bercinta.” Yang lain lagi berkata, “Neraka menunggu Tuan bila Tuan terus juga di jalan ini; jagalah diri Tuan, maka Tuan pun akan terhindar daripadanya.” Jawabnya, “Jika adalah neraka, maka itu hanyalah dari keluhan-keluhanku, yang akan mengisi tujuh neraka.”
Mengetahui bahwa kata-kata mereka tak membekas sedikit pun pada syaikh itu meskipun mereka memohon padanya sepanjang malam, maka mereka pun pergi. Sementara itu, pagi yang bagai orang Turki dengan pedang dan perisai emas memenggal kepala malam yang hitam sehingga dunia angan-angan pun mandi terang matahari. Syaikh itu, sebagai barang permainan cintanya, berkeliaran bersama anjing-anjing, dan sebulan lamanya duduk di jalan itu dengan harapan akan melihat wajah sang gadis. Debu ialah tempat tidurnya dan ambang pintu rumah gadis itu bantalnya.
Kemudian, mengetahui bahwa syaikh itu putus asa dalam bercinta, gadis Nasrani yang jelita itu pun mengenakan cadarnya, lalu keluar dan berkata padanya, “O syaikh, bagaimana maka kau, seorang zahid, begitu mabuk dengan anggur kemusyrikan, dan duduk di sebuah jalanan Nasrani dalam keadaan demikian? Bila kau memujaku seperti ini, kau akan jadi gila.” Jawab syaikh itu, “Ini karena kau telah mencuri hatiku. Kembalikan hatiku itu atau sambut cintaku. Bila kau menghendaki, akan kukorbankan hidupku untukmu, tetapi kau dapat memulihkannya kembali dengan sentuhan bibirmu. Karena kau, hatiku terbakar. Telah kutumpahkan airmata bagai hujan, dan mataku tak dapat melihat lagi. Di mana hatiku, di sana hanyalah darah. Andaikan aku dapat menjadi satu denganmu, hidupku akan pulih kembali. Kau matahari, aku bayang-bayangnya. Aku orang yang tiada berarti lagi, tetapi bila kau mau mengindahkan diriku, aku akan menguasai tujuh kubah dunia di bawah sayapku. Kumohon padamu, jangan tinggalkan aku!”
“O kau peliur tua!” kata gadis itu, “tidakkah kau malu menggunakan kapur barus untuk kain kafanmu? Mestinya kau malu menyarankan hubungan mesra padaku dengan nafasmu yang dingin! Lebih baik kau bungkus dirimu dengan kain kafan ketimbang kauhabiskan waktumu memikirkan aku. Kau tak mungkin menimbulkan cinta. Pergilah!”
Syaikh itu menjawab, “Katakan sesukamu, namun aku cinta padamu. Tak peduli apakah kita tua atau muda, cinta mempengaruhi segala hati.”
Gadis itu berkata, “Baiklah, kalau kau tak bisa ditolak, dengarkan aku. Kau harus meninggalkan Islam; karena cinta yang tak menyamakan dirinya dengan yang dicintainya hanyalah sekedar warna dan wangian.”
Kata syaikh itu, “Akan kulakukan apa yang kauinginkan. Akan kusanggupi segala yang kauperintahkan, kau dengan tubuhmu yang bagai perak: Aku hambamu. Ikatkan seutas rambutmu yang ikal di leherku sebagai tanda pengabdianku.”
“Jika kau seorang pengamal dari apa yang kau katakan,” kata gadis Nasrani itu, “kau harus melakukan empat perkara ini: bersujudlah di muka patung-patung itu, bakarlah Quran, minumlah anggur, dan tutuplah mata terhadap agamamu.” Syaikh itu berkata, “Aku mau minum anggur demi kecantikanmu, tetapi ketiga perkara yang lain tak dapat kulakukan.” “Baiklah,” kata gadis itu, “mari minum anggur bersamaku, kemudian kau pun akan segera mau menerima syarat-syarat yang lain itu.”
Dibawanya syaikh itu ke kuil para sahir di mana ia melihat sebuah perjamuan yang sangat aneh. Mereka duduk pada suatu pesta di mana wanita penjamunya terkenal kecantikannya. Gadis itu mengunjukkan satu piala anggur pada sang syaikh, dan ketika syaikh itu menyambutnya dan memandang kedua manikam mirah bibir kekasihnya yang tersenyum, bagai dua tutup kotak perhiasan, api pun berkorbar dalam kalbunya dan aliran darah menderas ke matanya. Ia berusaha mengingat kembali kitab-kitab suci tentang agama yang telah dibaca dan ditulisnya, dan Quran yang begitu dikenalnya; tetapi ketika anggur mengalir dari piala ke dalam perutnya, ia pun lupa akan semua itu; pengetahuan ruhaninya hilang lenyap. Ia pun kehilangan kemauannya yang bebas dan membiarkan hatinya terluncur lepas dari tangan. Ketika ia berusaha menyentuh leher si gadis, gadis itu pun berkata, “Kau hanya pura-pura mencintai. Kau tak mengerti rahasia cinta. Jika kau merasa yakin akan cintamu, kau akan dapat menemukan jalan ke ikal rambutku yang berlingkar-lingkar. Tenggelamkan dirimu dalam kekufuran lewat ikal rambutku yang kusut; selusuri ikal rambutku, dan tanganmu pun akan dapat menyentuh leherku. Tetapi jika kau tak mau mengikuti cara ;yang kutunjukkan itu, bangkitlah dan pergi; dan pakailah jubah serta tongkat orang fakir.”
Mendengar ini, syaikh yang mabuk cinta itu merasa tak berdaya; dan kini ia pun menyerah tanpa ribut-ribut lagi kepada nasibnya. Anggur yang telah diminumnya membuat kepalanya jadi segoyah kompas. Anggur itu tua dan cintanya muda. Bagaimana ia tak akan mabuk dan tenggelam dalam cinta?
“O Seri Cahaya Bulan,” katanya, “katakan padaku apa yang kauinginkan. Jika aku bukan penyembah patung selagi aku masih sadar, maka kini di saat aku mabuk akan kubakar Quran di muka patung pujaan.”
Jelita muda itu berkata, “Kini kau benar-benar suamiku. Kau pantas bagiku. Selama ini kau mentah dalam cinta, tetapi setelah memperoleh pengalaman kau pum matang. Bagus!”
Ketika orang orang Nasrani mendengar bahwa syaikh itu telah memeluk agama mereka, maka mereka bawa dia, masih dalam mabuk, masuk ke gereja, dan mereka katakan padanya agar mengenakan zunnar. Ia lakukan ini dan ia campakkan jubah darwisnya ke dalam api, ia tinggalkan agamanya dan ia patuhi kebiasaan-kebiasaan agama Nasrani.
Ia pun berkata pada gadis itu, “O puteri yang menawan hati, tiada seorang pun yang pernah berbuat bagi seorang wanita sejauh yang kulakukan itu. Aku telah menyembah patung-patung pujaanmu, aku telah minum anggur, dan aku telah meninggalkan agamaku yang sejati. Semua ini kulakukan demi cinta padamu dan agar aku dapat memilikimu.”
Lagi gadis itu pun berkata padanya, “Peliur tua, budak cinta, bagaimana mungkin wanita seperti aku menyatukan diri dengan seorang fakir? Aku membutuhkan uang dan emas, dan karena kau tak punya apa-apa, enyahlah kau sama sekali.” Kata Syaikh itu, “O wanita jelita, tubuhmu pohon saru dan dadamu perak. Jika kautolak aku, kau akan mendorongku ke dalam putus asa. Pikiran untuk memiliki dirimu telah melemparkan aku dalam kekalutan. Lantaran kau kawan-kawanku telah menjadi musuhku. Seperti kau, demikianlah mereka; apa dayaku kini? O kekasihku, lebih baik aku di neraka bersama kau ketimbang di sorga tanpa kau.”
Akhirnya gadis itu merasa kasihan, dan syaikh itu pun menjadi suaminya, dan mulai pula gadis itu merasakan nyala cinta. Tetapi untuk mengujinya lagi, gadis itu berkata” “Kini, sebagai maskawin, o manusia tak sempurna, pergilah menjaga babi-babiku selama setahun, dan kemudian kita akan melewatkan hidup kita bersama-sama dalam suka atau duka!” Tanpa membantah, syaikh yang berkiblat pada Ka’bah ini, orang suci ini, menyerah untuk menjadi penjaga babi.
Dalam fitrah kita masing-masing ada seratus babi. Wahai kalian yang tak berarti apa-apa, kalian hanya memikirkan bahaya yang melibat syaikh itu! Sedang bahaya itu terdapat dalam diri kita masing-masing, dan menegakkan kepala sejak saat kita mulai melangkah di jalan pengenalan-diri. Jika kalian tak mengenal babi-babi kalian sendiri, maka kalian tak mengenal Jalan itu. Tetapi jika kalian tempuh perjalanan itu, kalian akan memergoki seribu babi –seribu patung pujaan. Halaukan babi-babi ini, bakar patung-patung pujaan ini di dataran cinta; atau jika tidak, kalian akan serupa syaikh itu, dihinakan cinta.
Maka kemudian, ketika tersiar kabar bahwa syaikh itu telah menjadi seorang Nasrani, sahabat-sahabatnya amat bersedih hati, dan semua menjauhinya, kecuali seorang yang berkata padanya, “Ceritakan pada kami rahasia peristiwa ini agar kami dapat menjadi orang-orang Nasrani bersama Tuan. Kami tak ingin Tuan tinggal dalam kemurtadan seorang diri; maka kami akan mengenakan zunnar orang Nasrani. Jika Tuan tak berkenan, kami akan kembali ke Ka’bah dan menghabiskan waktu kami dalam berdoa agar tak melihat apa yang kami lihat sekarang ini.
Syaikh itu berkata, “Jiwaku penuh duka. Pergilah ke mana kau suka. Adapun bagiku, gereja ini tempatku, dan gadis Nasrani itu tertakdir bagiku. Tahukah kau. mengapa kau bebas? Itu karena kau tak berada dalam keadaan seperti aku. Jika kau berada dalam keadaan demikian, tentulah aku akan mempunyai kawan dalam percintaanku yang malang. Maka kembalilah, sahabatku sayang, ke Ka’bah, karena tak seorang pun akan dapat ikut pula merasakan keadaanku yang sekarang ini. Jika mereka nanti menanyakan tentang diriku, katakanlah, “Matanya berlumur darah, mulutnya penuh racun; ia tetap berada dalam rahang naga-naga kekerasan. Tiada kafir ‘yang akan bersedia melakukan apa yang telah diperbuat si Muslim sombong ini lantaran pengaruh nasib. Seorang gadis Nasrani telah menjerat leher si Muslim itu dengan jerat dari seutas rambutnya’.” Dengan kata-kata itu ia pun memalingkan muka dari sahabatnya lalu kembali ke kawanan babinya.
Para pengikutnya yang selama itu mengawasi dari jauh, menangis pedih. Akhirnya mereka pun menempuh perjalanan kembali ke Ka’bah, dan dengan malu dan bingung menyembunyikan diri di sudut.
Di Ka’bah ada seorang sahabat syaikh itu, orang yang bijak dan berada di Jalan yang benar. Tak seorang pun yang lebih mengenal syaikh itu ketimbang dia, meskipun dia tak ikut menyertainya ke Yunani. Ketika orang ini menanyakan kabar sahabatnya, murid-murid pun menceritakan segala yang telah menimpa syaikh itu, dan mereka menanyakan cabang-pohon yang buruk manakah telah menusuk dadanya, dan apakah ini telah terjadi karena kehendak nasib. Mereka katakan bahwa seorang gadis kufur telah mengikatnya dengan seutas rambut saja dan menghalanginya dari seratus jalan agama Islam. “Dia bermain-main dengan rambut ikal dan tahi lalat gadis itu, dan telah membakar khirka-nya.3 Dia telah meninggalkan agamanya dan kini dengan mengenakan zunnar ia menjaga sekawanan babi. Tetapi sungguhpun ia telah mempertaruhkan jiwanya sendiri, namun kami rasa masih ada harapan.”
Mendengar ini, wajah, sahabat itu pun berubah warnanya jadi keemasan, dan ia mulai meratap pedih. Kemudian katanya, “Kawan dalam kesusahan, menurut agama tak pandang laki-laki atau perempuan. Bila seorang kawan yang menderita kesusahan membutuhkan pertolongan, kadang-kadang terjadilah bahwa hanya seorang saja dalam seribu yang mungkin berguna.” Kemudian disesalkannya mereka yang meninggalkan syaikh itu dan dikatakannya bahwa seharusnya mereka jadi orang-orang Nasrani pula demi syaikh itu. Tambahnya, “Kawan harus tetap menjadi kawan. Dalam kesusahanlah kalian akan mengetahui pada siapa kalian dapat menggantungkan diri; sebab dalam kebahagiaan kalian akan mempunyai seribu kawan. Kini di saat syaikh itu jatuh ke rahang buaya setiap orang menjauhkan diri darinya agar tetap dapat menjaga nama baik mereka sendiri. Bila kalian jauhi dia karena peristiwa yang aneh ini, mestinya kalian harus diuji dan dinyatakan lemah.”
“Kami menawarkan diri untuk tinggal bersama dia,” kata mereka, “dan malah bersedia pula untuk menjadi penyembah patung. Tetapi ia orang yang berpengalaman dan bijak, dan kami percaya padanya, sehingga ketika ia mengatakan pada kami agar pergi, kami pun kembali ke sini.”
Sahabat yang setia itu menjawab, “Bila kalian benar-benar ingin berbuat, kalian harus mengetuk pintu Tuhan; maka dengan doa, kalian akan diterima di hadirat-Nya. Mestinya kalian bermohon pada Tuhan buat syaikh kalian, masing-masing dengan doa sendiri; dan mengetahui keadaan kalian yang bingung, Tuhan tentu akan mengembalikan dia pada kalian. Mengapa kalian enggan mengetuk pintu Tuhan?”
Mendengar itu, mereka pun malu mengangkat kepala. Tetapi sahabat setia itu berkata, “Kini bukan saatnya untuk menyesal. Mari kita pergi ke rumah Tuhan. Mari kita baring di debu dan menyelubungi diri kita dengan pakaian doa permohonan agar kita dapat menyembuhkan pemimpin kita!”
Murid-murid itu pun segera berangkat ke Yunani, dan setiba di sana tinggal berada di dekat syaikh.
Empat puluh hari empat puluh malam mereka berdoa. Selama empat puluh hari empat puluh malam ini mereka tidak makan dan tidak tidur; mereka tak mengenyam roti maupun air. Akhirnya kekuatan doa orang-orang yang tulus ini terasa di langit. Para malaikat dan para pemimpin malaikat, dan sekalian Orang Suci yang berjubah hijau di puncak-puncak bukit dan di lembah-lembah, kini berdandan, dengan pakaian berkabung. Panah doa itu telah mencapai sasarannya. Ketika pagi tiba, angin sepoi yang membawa bau kesturi berhembus halus menimpa sahabat setia yang sedang berdoa dalam biliknya, dan dunia pun tersingkap di muka mata batiniyah. Ia melihat Nabi Muhammad datang mendekat, gemilang bagai pagi, dua ikal rambutnya tergerai di dadanya; bayang-bayang Tuhan ialah matahari wajahnya, damba seratus dunia terikat pada setiap helai rambutnya. Senyumnya yang ramah menarik semua orang kepadanya. Sahabat setia itu bangkit dan berkata, “O Rasulullah, pemimpin sekalian makhluk, tolonglah kami! Syaikh kami telah sesat. Tunjukkan jalan padanya, kami mohon pada Tuan dengan nama Tuhan Yang Maha Tinggi!”
Muhammad bersabda, “O kau yang melihat segala sesuatu dengan mata batin, berkat usahamu maka hasrat-hasratmu yang suci dikabulkan. Antara syaikh dan Tuhan sudah lama ada noda hitam, aku telah melimpahkan embun doa permohonan dan telah menebarkannya di debu hidupnya. Ia telah bertaubat dan dosanya pun terhapus. Kesalahan-kesalahan dari seratus dunia pun dapat lenyap dalam uap saat pertaubatan. Bila lautan rasa persahabatan menggerakkan ombak-ombaknya terhapuslah dosa laki-laki dan wanita.”
Sahabat setia itu berseru gembira, membuat seluruh langit bergetar. Ia berlari menyampaikan kabar gembira itu pada kawan-kawannya, lalu sambil menangis karena gembiranya ia bergegas ke tempat di mana syaikh menjaga babi-babinya. Tetapi syaikh itu laksana api, laksana orang yang diterangi cahaya. Ia telah melepaskan tali pinggang Nasraninya, membuang ikat pinggang itu, merobek kerudung kemabukan dari kepalanya dan meninggalkan kenasraniannya. Ia merasa dirinya sebagai semula, dan sambil mengucurkan airmata penyesalan diangkatnya kedua belah tangannya ke langit; segala yang telah ditinggalkannya –Al-Quran, segala kerahasiaan dan ramalan, datang kembali padanya, dan ia pun terbebas dari nestapa dan kebodohannya.
Mereka berkata padanya, “Inilah saat bersyukur. Nabi telah mengantara bagi Tuan. Bersyukurlah pada Tuhan yang telah mengangkat Tuan dari lautan kegelapan dan menempatkan kaki Tuan di Jalan Terang.”
Segera setelah itu, syaikh itu pun mengenakan kembali khirkanya, melakukan sesuci, dan kemudian berangkat ke Hejaz.
Sementara yang demikian itu terjadi, si gadis Nasrani dalam mimpinya melihat matahari turun kepadanya, dan mendengar kata-kata ini, “Ikuti syaikhmu, peluk agamanya, jadilah debunya. Kau kotor, jadilah suci seperti dia kini. Kau telah membawa dia ke jalanmu, sekarang ikuti jalan yang ditempuhnya.”
Ia pun terjaga; cahaya merekah menerangi jiwanya, dan timbul keinginannya hendak pergi mencari. Tetapi ketika disadarinya bahwa ia seorang diri saja, dan tak tahu jalan, maka kegembiraannya berubah menjadi kesedihan dan ia pun lari ke luar hendak membuang keresahan dalam pikirannya. Kemudian ia pun berangkat mencari syaikh dan murid-muridnya; tetapi dalam keadaan letih dan bingung, bersimbah peluh, ia menjatuhkan dirinya ke tanah dan berseru, “Semoga Tuhan Sang Pencipta mengampuni diriku! Aku perempuan, muak dengan hidup ini. Jangan kecewakan aku lantaran telah menyengsarakanmu karena kebodohanku, dan lantaran kebodohan itu telah banyak kuperbuat kesalahan. Lupakan kejahatan yang telah kuperbuat. Kini aku mengakui Kepercayaan yang benar.”
Suara batin membuat syaikh tahu akan seruan itu. Ia pun berhenti dan katanya, “Gadis remaja itu bukan kafir lagi. Cahaya telah datang padanya dan ia telah mengikuti Jalan kita. Mari kita kembali. Dapatlah kini mengikatkan diri dengan mesra pada patung pujaan itu4 tanpa dosa.”
Tetapi sahabat-sahabatnya berkata, “Kini apalah gunanya segala taubat dan penyesalan “Tuan! Hendak kembalikah Tuan pada kekasih Tuan?” Syaikh itu pun memberitahukan pada mereka tentang suara yang telah didengarnya, dan mengingatkan mereka bahwa ia telah meninggalkan sikapnya yang lama. Maka mereka pun kembali hingga tiba di tempat gadis itu terbaring. Wajah gadis itu telah berwarna kuning keemasan, kakinya telanjang, pakaiannya koyak-moyak. Ketika syaikh membungkuk padanya, gadis itu pingsan. Ketika ia sadar kembali, airmatanya jatuh bagai embun dari bunga-bunga mawar, dan ia pun berkata, “Aku merasa begitu malu karena kau. Singkapkan tabir rahasia itu dan ajarkan Islam padaku agar aku dapat berjalan di Jalan itu.”
Ketika patung pujaan yang jelita ini akhirnya tergolong di antara orang-orang yang beriman, para sahabat syaikh itu mengucurkan airmata kegirangan. Tetapi hati gadis itu tak sabar menunggu pembebasan dirinya dari kesedihan. “O, Syaikh,” katanya, “kekuatanku lenyap. Aku ingin meningggalkan dunia yang berdebu dan bising ini. Selamat tinggal, Syaikh San’an. Aku mengakui segala kesalahanku. Maafkan aku, dan biarlah aku pergi.”
Maka alkamar keindahan ini, yang telah menempuh separoh dari hidupnya, mengiraikan hidup itu dari tangannya. Matahari bersembunyi di balik awan sementara ruh jelita gadis itu melepaskan diri dari jasadnya. Dia, setitik air di lautan khayali, telah kembali ke lautan hakiki.
Kita semua akan berlalu bagai angin; dia telah pergi dan kita pun bakal pergi pula. Peristiwa-peristiwa demikian sering terjadi di jalan cinta. Ada keputusasaan dan belas kasihan, angan-angan dan kepastian. Meskipun jasad nafsu tak dapat memahami rahasia-rahasia itu, namun kemalangan tak mungkin memukul-lepas bola polo kemujuran. Kita harus mendengar dengan telinga hati dan pikiran, bukan dengan telinga jasmani. Pergulatan jiwa dan jasad nafsu tiada akhirnya. Merataplah! Karena ada alasan buat berduka.

Catatan kaki:

1 Orang yang menuntut kehidupan suci, menjauhi kesenangan duniawi.
2 Ikat pinggang. Juga berarti tali pinggang yang dipakai orang Nasrani atau Yahudi. Istilah ini digunakan kaum Sufi untuk menyatakan ketulusan menempuh jalan agama.
3 Jubah para darwis, terbuat dari sobekan-sobekan kain yang ditempel-tempel.
4 Di sini maksudnya si gadis Nasrani.

Dalih Burung Kesepuluh


Burung ini berkata pada Hudhud, “Aku takut akan maut. Kini lembah ini luas, dan aku tak punya apa-apa sama sekali untuk perjalanan ini. Aku amat diliputi ketakutan akan maut sehingga aku akan mati di tempat perhentian pertama. Andaikan aku seorang amir yang penuh kuasa sekalipun, pada saat datangnya ajal, akan tak kurang juga ketakutanku. Ia yang dengan pedangnya mencoba menangkis maut, akan mendapatkan pedangnya itu patah bagai sebatang kalam; sebab sayang, kepercayaan akan kekuatan tangan dan pedang hanya akan membawa kekecewaan dan kesedihan.”
Hudhud menjawab, “O kau yang lembek dan lemah kemauan, inginkah kau tinggal hanya sebingkai tulang dan sumsum semata? Tidakkah kau tahu bahwa hidup ini, baik panjang atau singkat, tercipta dari sekelumit nafas? Tidakkah kau mengetahui bahwa barangsiapa dilahirkan harus mati pula? Bahwa ia akan masuk tanah dan bahwa angin akan mencerai-beraikan unsur-unsur yang membentuk tubuhnya?
Kau diberikan pada maut sebagai santapannya; dan kau dimasukkan ke dunia untuk disingkirkan dari sana pula! Langit bagai pinggan terbalik, yang setiap senja tercelup dalam darah matahari terbenam. Dapat dikatakan bahwa matahari itu, bersenjatakan pedang bengkok, tengah memenggal kepala demi kepala di pinggan ini. Apakah kau baik atau buruk, kau hanyalah setitik air dicampur dengan tanah. Meskipun sepanjang hidupmu kau mungkin ada dalam kedudukan yang penuh kekuasaan, pada akhirnya kau akan mengalami bencana kematian juga.”

Feniks

Feniks1 seekor burung yang mengagumkan dan indah, hidup di India. Ia tak punya jodoh dan hidup sendirian. Paruhnya, yang amat panjang dan keras, dilubangi bagai seruling dengan hampir seratus lubang. Setiap lubang itu mengeluarkan suara dan dalam setiap suara itu ada kerahasiaan tersendiri. Kadang ia memperdengarkan musik lewat lubang-lubang itu, dan bila burung-burung dan ikan-ikan mendengar lagunya yang sayu merdu itu, mereka pun terbangkit, dan hewan-hewan paling ganas pun terharu; kemudian mereka semua terdiam. Seorang filsuf suatu kali menengok burung ini dan belajar dari dia tentang ilmu musik. Feniks itu hidup sekitar seribu tahun dan ia tahu pasti akan hari kematiannya. Bila saatnya tiba, ia kumpulkan di seputarnya sejumlah daun-daun palma, dan kebingungan di antara daun-daun itu, ia pun melengkingkan jeritan-jeritan yang sayu. Dari lubang-lubang dalam paruhnya dipancarkannya beragam lagu, dan musik ini terangkat dari dasar hatinya. Ratapan-ratapannya menyatakan dukacita kematian, dan ia pun menggigil bagai sehelai daun. Mendengar terompetnya burung-burung dan hewan-hewan mendekat untuk memberikan bantuan pada peristiwa besar ini. Kini mereka pun menjadi bingung, dan banyak yang mati karena kehilangan tenaga. Sementara feniks itu masih bernafas, dikepak-kepakkannya sayapnya dan dikerutkannya bulu-bulunya, dan dengan demikian ia memancarkan api. Api itu menjalar ke daun-daun palma, dan segera daun-daun dan burung itu pun menjadi bara yang hidup dan kemudian menjadi abu. Tetapi ketika bunga-api penghabisan telah padam, seekor feniks kecil yang baru timbul dari abu itu.
Pernahkah terjadi pada siapa pun peristiwa dilahirkan kembali sesudah mati itu? Andaikan kau hidup sama lamanya dengan feniks itu sekalipun, namun kau akan mati juga bila kadar hidupmu sudah ditentukan. Hidup feniks yang seribu tahun itu penuh dengan ratapan dan ia tinggal sendirian tanpa kawan dan anak, dan tak berhubungan dengan siapa juga. Ketika saat akhir itu tiba, ia membuang abunya sama sekali, sehingga dapatlah kauketahui bahwa tiada siapa pun dapat menghindari kematian, meski ia mempergunakan muslihat apa pun. Maka ambil pelajaran dari keajaiban feniks itu. Maut ialah tiran, namun kita harus selalu ingat akan maut itu. Dan meskipun banyak yang mesti kita derita, namun tak ada yang dapat dibandingkan dengan keadaan hendak mati itu.

Nasihat Tai Waktu Hendak Meninggal

Ketika Tai terbaring hampir meninggal, seseorang bertanya padanya, “O Tai, kau telah mengetahui hakikat segala sesuatu, bagaimana keadaanmu sekarang?” Katanya, “Aku tak dapat mengatakan apa-apa tentang keadaanku. Seperti angin aku telah mengembara ke mana-mana selama hidupku, dan kini saat akhir itu akan segera tiba, dan aku akan dikuburkan, maka, selamat malam.”
Tiada obat pencegah maut selain menatapnya senantiasa dengan berani. Kita semua dilahirkan untuk mati; hidup tak akan tinggal bersama kita; kita harus tunduk. Bahkan dia yang menguasai dunia di bawah cap cincinnya, kini hanya merupakan barang tambang dalam tanah.2

Isa dan Kendi Berisi Air

Isa minum air dari sebuah sungai jernih yang rasanya lebih nyaman dari embun pada bunga mawar. Salah seorang pengikutnya mengisi kendi dengan air sungai itu, dan mereka pun pergi meneruskan perjalanan. Karena haus, Isa minum seteguk air dari kendi itu, tetapi air itu terasa pahit, dan ia tertegun heran, lalu berdoa, “O Tuhan, air sungai dan air dalam kendi ini sama. Tetapi mengapakah yang satu lebih manis dari madu dan yang lain begitu pahit?” Lalu kendi itu pun bicara, dan katanya pada Isa, “Aku sudah amat tua, dan bentukku sudah diubah-ubah seribu kali di bawah bentangan kubah yang sembilan ini — kadang sebagai jambangan, kadang sebagai kendi dan kadang sebagai bejana. Bentuk apa pun yang ada padaku, selalu kumiliki dalam diriku kepahitan maut. Aku dibuat sedemikian rupa sehingga air yang kusimpan akan selalu ikut mengandung kepahitan itu.”
O makhluk yang masa bodoh! Berusahalah memahami arti kendi itu. Berusahalah menemukan rahasia itu sebelum kau mati. Jika selagi kau hidup, kau tak dapat menemukan dirimu sendiri, mengenal dirimu sendiri, bagaimana kau akan dapat memahami rahasia hidupmu bila kau mati? Kau ikut serta dalam kehidupan makhluk, namun kau hanya makhluk semu.

Socrates Kepada Murid-Muridnya

Ketika Socrates hampir meninggal, salah seorang muridnya berkata padanya, “Guru, setelah Guru kami mandikan dan kami selubungi kain kafan, di manakah Guru ingin kami kuburkan?” Socrates menjawab? “Jika kautemukan diriku, muridku tercinta, kuburkan aku di mana kau suka, dan selamat malam! Mengingat bahwa dalam hidupku selama ini aku tak menemukan diriku sendiri, bagaimana kau akan menemukan diriku waktu aku mati? Aku telah hidup dengan laku sedemikian rupa sehingga pada saat ini aku hanya tahu bahwa sejemput pengetahuan tentang diriku sendiri tidaklah jelas.”

Dalih Burung Kesembilan


Seekor burung lain berkata pada Hudhud, “O burung termulia, aku hamba si jelita yang telah menguasai diriku dan membuat aku kehilangan pikiran. Bayangan wajahnya yang manis ialah pencuri di Jalan yang agung itu; dia telah membakar panenan hidupku, dan bila aku terpisah daripadanya, tak sejenak pun aku merasa tenteram. Karena hatiku menyala dengan gairah nafsu, aku pun tak tahu bagaimana aku dapat menempuh perjalanan ini. Aku harus melintasi lembah demi lembah dan menempuh seratus percobaan. Dapatkah aku diharapkan akan meninggalkan si jelita ini untuk pergi menempuh panas yang menghanguskan dan dingin yang pedih? Aku terlalu lemah untuk pergi tanpa dia; dan aku hanya debu di jalannya. Begitulah keadaanku. Apa dayaku?”
Hudhud menjawab, “Kau terikat pada apa yang tampak di mata saja, dan akibatnya, menderita dari kepala hingga kaki. Cinta berahi ialah suatu permainan. Cinta yang ditimbulkan oleh kecantikan yang sepintas dengan sendirinya cepat berlalu pula. Kau senantiasa membandingkan tubuh dari darah dan nafsu dengan keindahan bulan.
Apakah yang lebih buruk dari tubuh yang terjadi dari daging dan tulang-tulang? Keindahan sejati tersembunyi. Maka carilah itu, di dunia yang tak tampak di mata. Jika cadar yang menyembunyikan kerahasiaan ini dari pandangan matamu luruh, maka tak ada lagi yang tinggal di dunia ini. Segala bentuk yang kelihatan akan menjadi tak berarti.”

Cerita Kecil tentang Syabli

Seorang laki-laki datang mendapatkan Syabli pada suatu hari sambil menangis. Sufi itu bertanya padanya, mengapa menangis. “O Syaikh,” katanya, “aku mempunyai sahabat yang keindahannya membuat jiwaku sehijau ranting-ranting di musim semi. Kemarin, ia meninggal, dan aku pun mau mati pula rasanya karena duka.” Syabli berkata, “Kenapa kau bersedih? Sekian lama kau telah memilikinya sebagai sahabat. Kini pergilah dan cari sahabat lain, sahabat yang tak akan mati, maka tak akan ada lagi sebab yang membuat kau bersedih. Keterikatan akan sesuatu yang fana hanya akan mendatangkan duka.”

Saudagar Kaya

Seorang saudagar yang kaya akan barang-barang dan uang mempunyai sahaya perempuan yang manis bagaikan gula. Namun demikian, ia memutuskan pada suatu hari untuk menjualnya. Tetapi sebentar saja ia pun mulai merasa kehilangan dia. Dalam kerinduannya, ia pun pergi ke pemiliknya yang baru dan memintanya agar melepaskan sahaya itu, lalu ia menawarkan seribu keping emas untuk menebusnya. Tetapi pemiliknya yang baru itu tak mau berpisah dari si sahaya. Maka saudagar itu pun keluar, dan dalam kebingungan katanya, “Ini salahku sendiri, karena telah menjahit bibir dan mataku; dalam kerakusanku aku telah menjual kekasihku seharga sekeping emas. Saat itu hari buruk bagiku ketika aku mendandaninya dengan pakaiannya yang terbagus dan membawanya ke pasar untuk kujual dengan keuntungan yang banyak.”
Setiap nafasmu, yang menakar hidupmu, ialah sebutir mutiara, dan setiap zarrah dirimu ialah penunjuk jalan kepada Tuhan. Berkah sahabat ini meliputi dirimu dari kepala hingga kaki. Jika kau benar-benar mengindahkan dia, bagaimana dapat kau menunjang perpisahan?

Cerita Kecil tentang Hallaj

Ketika mereka hendak menusuknya dengan tombak, Hallaj hanya mengucapkan kata-kata ini, “Aku Tuhan.” Mereka potong tangan dan kakinya, hingga ia pun menjadi pucat karena kehilangan darah. Kemudian pergelangan tangannya yang sudah buntung itu ia usapkan ke wajahnya sambil berkata, “Tak perlu aku kelihatan pucat hari ini, karena jika demikian, mereka akan mengira bahwa aku takut. Akan kubuat mukaku merah sehingga apabila si orang terkutuk yang telah melaksanakan hukuman itu berpaling ke tiang gantungan, ia akan melihat bahwa aku seorang pemberani.’
Ia yang makan dan minum dalam bulan Juli bersama naga berkepala tujuh itu akan bernasib amat buruk dalam permainan demikian, tetapi tiang gantungan akan merupakan sesuatu yang amat tak berarti bagi dia.

Dalih Burung Kelapan


Seekor burung lain berkata pada Hudhud, “Hatiku menyala karena gembira, sebab aku tinggal di sebuah tempat yang menawan. Aku punya istana emas teramat indah hingga siapa saja mengaguminya, dan di sana aku hidup dalam kepuasan. Bagaimana mungkin aku diharapkan untuk meninggalkannya? Di istana ini aku seperti raja burung-burung, maka mengapa pula aku bersusah payah di lembah-lembah yang kausebutkan itu? Mestikah aku meninggalkan istanaku dan kedudukanku sebagai raja? Tiada makhluk yang berpikiran sehat akan meninggalkan taman Iram untuk menempuh perjalanan yang begitu berat dan sulit!”
Hudhud menjawab, “O kau yang tanpa cita-cita dan semangat! Adakah kau anjing? Atau inginkah kau menjadi pelayan dalam hammam? Dunia bawah ini hanyalah sebuah bilik panas dan istanamu sebagian daripadanya. Meski istanamu sebuah sorga sekalipun, namun pada suatu hari maut akan mengubahnya menjadi penjara penderitaan. Hanya jikalau maut berhenti menggunakan kekuasaannya atas segala makhluk akan baiklah bagimu untuk tinggal puas di istana emasmu.”

Seloroh Seorang Arif tentang Sebuah Istana

Seorang raja mendirikan sebuah istana yang menghabiskan biaya seratus ribu dinar. Di sebelah luar, istana itu dihiasi dengan menara-menara dan kubah-kubah yang bersepuhkan emas, sedang perabotan dan permadani-permadani membuat ruang dalamnya seperti sorga. Ketika istana itu selesai didirikan, raja mengundang orang-orang dari setiap negeri untuk mengunjunginya. Mereka datang dan memberikan hadiah-hadiah, dan dipersilakannya mereka semua duduk bersamanya. Kemudian raja itu pun bertanya pada mereka, “Katakan bagaimana pendapat Tuan sekalian tentang istanaku. Adakah sesuatu yang terlupa, yang merusakkan keindahannya?” Semuanya menyatakan bahwa belum pernah ada istana semacam itu di dunia dan tak mungkin ada kembarannya lagi. Semua menyatakan demikian, Kecuali satu, seorang arif, yang bangkit berdiri dan berkata, “Ada satu celah kecil yang menurut pendapat hamba merupakan cacat, Tuanku. Andaikan tak ada cacat ini, sorga itu sendiri pun akan memberikan hadiah-hadiah pada Tuanku dari dunia gaib.”
“Aku tak melihat cacat ini,” kata raja murka. “Kau orang bodoh, dan kau hanya ingin membuat dirimu tampak penting.” “Tidak, Raja yang sombong,” jawab orang arif itu. “Celah yang kusebutkan itu ialah celah yang akan dilalui Izrail, malakulmaut, bila ia datang nanti. Semoga Tuhan berkenan, Tuanku dapat menutup celah itu, sebab jika tidak, apakah gunanya istana, mahkota dan singgasana Tuanku yang megah itu? Bila maut datang, semua itu akan menjadi bagai segenggam debu. Tak satu pun yang tetap bertahan lama, dan celah itulah yang akan merusakkan tempat semayam Tuanku. Tiada kepandaian dapat membuat tetap apa yang tak tetap. Ah, jangan letakkan harapan kebahagiaan Tuanku pada istana! Jangan biarkan kuda kebanggaan Tuanku melata bagai siput. Jika tak seorang pun berani mengatakan terus terang pada raja dan memperingatkannya tentang kesalahan-kesalahan ini, maka ini akan merupakan malapetaka yang besar.”

Laba-Laba

Pernahkah kau memperhatikan laba-laba dan mengamati betapa mengagumkan ia menggunakan waktunya? Dengan kecepatan dan kewaspadaan ia menganyam jaring-sarangnya yang menakjubkan itu, sebuah rumah yang dihiasinya untuk keperluannya. Bila lalat jatuh tertungging ke dalam jaring itu, laba-laba itu buru-buru menyergapnya mengisap darah makhluk kecil itu dan membiarkan bangkai itu mengering untuk digunakannya sebagai makanannya. Kemudian datang penghuni rumah dengan membawa sapu, dan dalam sekejap saja, jaring-sarang, lalat dan laba-laba itu pun lenyap ketiga-tiganya!
Jaring laba-laba itu melambangkan dunia; lalat itu, rizki yang telah diberikan Tuhan di sana bagi makhlukNya. Andaikan seluruh dunia sekalipun jatuh ke tanganmu, kau dapat kehilangan semua itu dalam sekejap saja. Kau hanya bayi di jalan pengertian; namun kau berdiri sia-sia di luar tabir. Jangan tuntut tempat dan kedudukan jika kau tidak bodoh. Dan ketahuilah, hai pandir yang tak peduli, bahwa dunia ini diserahkan pada lembu jantan. Ia yang memandang genderang dan bendera sebagai tanda keagungan tak akan pernah menjadi darwis; benda-benda itu hanyalah siul angin lebih kecil nilainya daripada mata uang terkecil. Tahanlah kuda kebodohanmu yang melata bagai siput itu, dan janganlah terpedaya karena memiliki kekuasaan. Bila macan tutul itu sudah terkuliti, maka hidupmu pun akan terenggut hilang.
Bukalah mata cita-cita yang sejati dan temukan Jalan Kerohanian itu; langkahkan kakimu di Jalan Tuhan dan carilah istanaNya yang luhur. Sekali kau melihatnya, maka kau tak akan terikat lagi pada gemerlap dunia ini.

Darwis yang Menjauhi Manusia

Seorang laki-laki, lelah dan kehilangan semangat, letih karena berjalan di gurun, akhirnya tiba di suatu tempat di mana seorang darwis yang hidup seorang diri berdiam, lalu berkata padanya, “O Darwis, bagaimana keadaanmu?” Darwis itu menjawab, “Tidakkah kau malu menyampaikan pertanyaan demikian bila di sini aku tinggal di suatu tempat yang begitu sempit dan terkurung?” Orang itu berkata, “Itu tidak betul, bagaimana kau akan terkurung, tinggal di gurun yang luas ini?” Darwis itu berkata lagi, “Jika dunia tidak sedemikian sempit, kau tak akan pernah menyinggahi aku!”

Dalih Burung Ketujuh


Seekor burung lain berkata pada Hudhud, “Aku cinta akan emas; bagiku ia seperti buah badam dalam kulitnya yang keras itu. Bila aku tak punya emas, terikat rasanya tangan dan kakiku. Cinta akan keduniawian dan cinta akan emas telah mengisi diriku dengan keinginan-keinginan tak berarti, yang membutakan diriku akan perkara-perkara keruhanian.”
Hudhud menjawab, “O kau yang silau karena bentuk-bentuk lahiriah, yang dalam hatimu tak pernah memancar nilai kebenaran! Kau seperti makhluk yang hanya dapat melihat dalam gelap, kau seperti semut, yang tertarik oleh rupa. Berusahalah memahami makna segala sesuatu.
Tanpa warna, emas hanyalah, logam biasa; namun kau terpikat oleh warna, serupa anak kecil. Cinta akan emas tak layak bagi manusia sejati; kenapa orang menyembunyikan emas dalam faraj bagal?1 Adakah benda-benda berharga disembunyikan orang di tempat demikian? Jika kau tak membiarkan sesamamu mendapat manfaat karena emasmu, kau pun tak akan beroleh manfaat pula. Tetapi bila kau berikan sekeping obol2 kepada si malang yang miskin, kalian berdua akan mendapat manfaat. Jika kau punya emas, banyaklah yang dapat kauberi manfaat dengan itu; tetapi jika pundakmu bercap,3 itu pun karena emas juga. Untuk sebuah toko, kau harus membayar sewa dan kadang-kadang harganya itu jiwamu sendiri. Demi usahamu, kau korbankan apa saja, juga mereka yang menjadi pautan hatimu, dan pada akhirnya kau tak memiliki apa-apa. Kita hanya berharap agar kemujuran akan menyediakan sebuah tangga di bawah tiang gantungan. Itu tak berarti bahwa kau tak usah menggunakan benda-benda duniawi sama sekali, tetapi hendaknya kaupergunakan apa yang kaumiliki itu secara luas. Nasib baik hanya akan datang padamu apabila kau memberi. Jika kau tak dapat meninggalkan hidup sama sekali, setidak-tidakaya kau dapat membebaskan dirimu dari cin ta akan kekayaan dan kehormatan.”

Syaikh dan Muridnya

Seorang murid yang masih muda, tak diketahui syaikhnya (seperti dikiranya) mempunyai sekedar simpanan emas. Syaikh itu tak berkata apa-apa, dan suatu hari mereka pergi bersama-sama dalam suatu perlawatan. Akhirnya mereka sampai ke sebuah lembah yang gelap; di tempat masuk ke lembah itu terbentang dua jalan. Si murid mulai khawatir, sebab emas (memang) merusak pemiliknya. Gemetar ia pun bertanya pada syaikhnya, “Jalan mana yang mesti kita tempuh?” Syaikh itu menjawab, “Bebaskan dirimu dari apa yang membuatmu khawatir itu, maka jalan mana pun tak menjadi soal. Setan takut akan orang yang tak mempedulikan uang, dan cepat akan menghindar daripadanya. Demi sebutir emas kau membelah sehelai rambut. Secara agama, emas seperti keledai yang lumpuh; tak ada harganya, hanya merupakan beban. Bila kekayaan datang pada seseorang dengan tak disangka-sangka, mula-mula akan membuatnya bingung, kemudian menguasainya. Ia yang terikat dengan cinta akan uang dan harta milik, terikatlah tangan dan kakinya dan dilontarkan ke dalam lubang-penjara. Hindarilah lubang penjara yang dalam ini jika kau bisa; jika tidak, tahan nafasmu, sebab udara didalamnya amat luar biasa pengapnya.”

Tuhan Menegur Seorang Darwis

Seorang suci yang telah menemukan ketenteraman dalam Tuhan menyerahkan seluruh dirinya dalam sembah dan puja selama empat puluh tahun. Ia telah melarikan diri dari dunia ini, tetapi karena Tuhan begitu mesra menyatu padanya, orang itu pun merasa puas. Darwis ini telah memagari sebidang tanah di gurun; di tengah-tengahnya ada sebatang pohon, dan di pohon itu seekor burung telah membuat sarangnya. Nyanyian burung itu merdu terdengar, karena setiap nadanya mengandung seratus rahasia. Hamba Tuhan itu terpesona. Tetapi Tuhan menyampaikan pada seorang arif tentang ihwal peristiwa itu dengan kata-kata ini, “Katakan pada sufi itu bahwa aku heran setelah berkhusyuk selama bertahun-tahun, ia telah berhenti dengan menjual aku seharga seekor burung. Memang benar burung itu mengagumkan, tetapi nyanyiannya telah menjerat sufi itu dalam sebuah perangkap. Aku telah membeli dia dan dia telah menjual aku.”

Dalih Burung Keenam


Seekor burung lain berkata pada Hudhud, “Kapan aku ingin menempuh Jalan itu setan menimbulkan rasa kesia-siaanku dan menghalangi aku mencari penunjuk jalan. Hatiku risau, karena aku tak berdaya melawannya. Bagaimana dapat aku menyelamatkan diriku dari Iblis dan menjadi bergairah karena anggur jiwa?”
Hudhud menjawab, “Selama anjing nafsu itu lari di mukamu, setan tak akan meninggalkanmu, tetapi akan menggunakan pikatan anjing itu untuk menyesatkanmu. Maka setiap keinginan nafsumu yang sia-sia pun menjadi setan, dan setiap setan yang ditimbulkannya akan menimbulkan seratus setan yang lain. Dunia ini bilik yang panas berkeringat atau penjara, kerajaan sang setan; jangan mengikatkan diri dengan kerajaan ini atau dengan penguasanya.

Keluhan Seorang Mubtadi1 atas Godaan Setan

Seorang muda yang bersikap masa bodoh pergi mendapatkan seorang syaikh yang sedang berpuasa hendak menyampaikan keluhan atas empat puluh godaan setan. Katanya, “Setan menjauhkan aku dari Jalan itu dan telah membuat agamaku menjadi tak berarti.” Syaikh itu berkata, “Anakanda sayang, sebelum kau datang padaku kulihat setan itu berkeliaran di seputarmu. Sebaliknya dari apa yang kau katakan itu, ia merasa risau dan bingung karena kau telah menyengsarakannya dan katanya padaku, ‘Seluruh dunia ini kerajaanku, tetapi aku tak berdaya terhadap orang muda itu yang menjadi lawan dunia.’ Katakan pada setan itu supaya berlalu, maka ia pun tak akan menggodamu lagi.”

Khoja dan Sufi

Seorang sufi mendengar seorang khoja2 mengucapkan doa ini, “O Tuhan, beri hamba rahmat, dan berkatilah usaha-usaha hamba,” lalu berkata pada khoja itu, “Janganlah mengharapkan rahmat bila kau tak mengenakan khirka seorang sufi. Kau telah menengadahkan mukamu ke langit dan pada keempat dinding emas.3 Kau dilayani sepuluh hamba laki-laki dan sepuluh hamba perempuan. Bagaimana rahmat Ilahi akan datang padamu dengan diam-diam? Hendaklah kau mawas diri dan tiliklah apakah kau layak mendapat berkat.
Karena kau berdoa demi milik dan kehormatanmu, rahmat itu akan menyembunyikan wajahnya. Berpalinglah dari semua itu, dan bebaskan dirimu, sebagaimana orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan.”

Dalih Burung Kelima


Seekor burung lain berkata pada Hudhud, “‘Diriku musuhku sendiri; ada maling dalam diriku. Bagaimana dapat aku menempuh perjalanan ini, yang terhalang oleh selera-selera jasmani dan anjing nafsu yang tak mau tunduk? Bagaimana dapat aku menyelamatkan jiwaku? Serigala yang berkeliaran mencari makan itu kukenal, tetapi anjing ini tak kukenal, dan ia begitu menarik. Aku tak tahu di manakah aku dengan badan jasmani yang tak setia ini. Akan dapatkah aku mengerti ini?”
Hudhud menjawab, “Dirimu sendiri anjing tersesat, terinjak-injak kaki. ‘Jiwa’ yang kaumiliki bermata satu dan juling; hina, kotor dan tak setia. Jika ada yang tertarik padamu, adalah itu karena silau oleh gemerlap palsu ‘jiwa’-mu. Tidaklah baik bagi anjing nafsu ini untuk dimanjakan dan digosok dengan berbagai minyak. Selagi kecil, kita lemah dan masa bodoh; waktu remaja, kita sibuk dalam pergulatan: dan ketika usia tua berkuasa, nafsu pun loyo dan badan lemah. Karena demikianlah hidup ini, maka bagaimana anjing ini akan mendapat perhiasan sifat-sifat ruhani?
Dari awal hingga akhir kita hidup dengan masa bodoh, dan tak mendapatkan apa-apa. Sering ada yang sampai pada akhir hidupnya hampa tanpa membawa apa-apa dalam dirinya kecuali nafsu akan serba kehidupan lahiriah. Beribu-ribu binasa karena sedih, tetapi anjing nafsu ini tak pernah mati. Dengarkan cerita tentang penggali kubur yang telah menjadi tua dalam pekerjaannya itu. Seseorang bertanya padanya, ‘Maukah kau menjawab pertanyaan ini karena kau telah melewatkan seluruh hidupmu dalam pekerjaanmu menggali kubur: Katakan apakah kau pernah melihat keajaiban?’ Penggali kubur itu pun berkata, ‘Selama tujuh puluh tahun anjing nafsuku telah melihat orang-orang mati yang dikuburkan, tetapi ia sendiri tak pernah mati, dan tak sejenak pun pernah mematuhi hukum-hukum Tuhan. Ini keajaiban’!”

Cerita Kecil tentang Abbasah

Suatu petang, Abbasah berkata, “Bayangkan misalnya orang-orang kafir yang banyak di dunia ini, dan bahkan juga orang-orang dari suatu suku bangsa Turki yang banyak bicara itu dengan tulus menerima agama –yang demikian mungkin saja terjadi. Tetapi seratus dua puluh ribu nabi telah diutus untuk jiwa yang tak beriman itu agar jiwa itu dapat menerima kepercayaan Muslim atau binasa, namun para nabi itu belum berhasil juga. Mengapa begitu banyak ketekunan dan begitu sedikit hasil?”
Kita semua ada di bawah kekuasaan nafsu badan jasmani yang tak setia dan durhaka, yang kita pelihara dalam diri kita.
Dibantu dari dua pihak sebagaimana adanya, maka akan mengherankan bila badan jasmani ini binasa. Jiwa, bagai kesatria yang setia, terus mengendarai kudanya, tetapi senantiasa anjing itu kawannya; kesatria itu mungkin lari di atas kudanya, tetapi si anjing mengikuti. Cinta yang diterima oleh hati diambil oleh badan jasmani. Namun barang siapa dapat menguasai anjing ini akan menangkap singa kedua dunia itu dalam jaringnya.

Seorang Raja Mengajukan Pertanyaan Pada Seorang Darwis

Suatu kali seorang raja melihat seorang laki-laki, yang –meskipun berpakaian compang-camping– bertekun di jalan penyempurnaan-diri. Raja memanggil orang itu dan bertanya, “Siapakah yang jelas lebih baik, kau atau aku?” Kata orang itu, “O Tuan yang tak tahu, tebah dada Tuan dan tutup mulut Tuan. Siapa yang memuji diri sendiri tak mengerti akan makna kata-kata; tetapi ini mesti hamba katakan: tak dapat disangsikan lagi bahwa orang seperti hamba ini jelas seratus kali lebih baik ketimbang orang seperti Tuan. Tanpa sedikit pun citarasa keagamaan, anjing nafsu Tuan telah menurunkan derajat Tuan menjadi keledai. Anjing nafsu itu menguasai Tuan dan mengendarai Tuan dengan tali kendali sambil mendorong kepala Tuan ke sana ke mari. Tuan melakukan segala yang diperintahkannya. Tuan orang yang tak berarti dan tak berguna sedikit pun, sedang hamba yang tahu akan kerahasiaan hati telah membuat anjing ini jadi keledai hamba untuk hamba kendarai. Anjing Tuan menguasai Tuan, tetapi jika Tuan mau menjadikannya keledai, maka Tuan pun akan seperti hamba, dan seratus kali lebih baik daripada rekan-rekan Tuan.”

Ucapan Burung Keempat


Seekor burung lain berkata pada Hudhud, “Aku berwatak betina, dan hanya dapat melompat-lompat dari dahan ke dahan. Kadang-kadang aku suka main-main dan risau, kadang-kadang pula aku suka bertarak. Kadang-kadang nafsuku menyeret diriku ke tempat-tempat minum, kadang-kadang pula jiwaku menarik diriku buat berdoa. Ada kalanya, meskipun berlawanan dengan diriku sendiri, setan menyesatkan aku; dan ada kalanya pula malaikat membimbingku kembali. Di antara keduanya ini aku berada di lubang penjara; apa yang mungkin kulakukan selain meratap seperti Yusuf.”
Hudhud menjawab, “Ini terjadi pada siapa saja, sesuai dengan fitrahnya. Jika kita tanpa salah sejak semula, Tuhan tentu tak perlu pula mengutus rasul-rasul dan nabi-nabiNya. Dengan kepatuhan kau akan mendapatkan kebahagiaan. O kau yang lena berbaring-baring di bilik kemalasan yang panas berkeringat, namun penuh dengan keinginan-keinginan tak berarti, sementara kau terus juga memberi makan anjing nafsumu, fitrahmu lebih buruk daipada fitrah si banci yang tak berdaya.”

Cerita Kecil tentang Syabli

Sekali Syabli menghilang dari Baghdad, tak seorang tahu ke mana. Akhirnya ia diketemukan di sebuah rumah tempat para kasim,1 sedang duduk dengan mata basah dan bibir kering di antara makhluk-makhluk aneh ini. Kawan-kawannya berkata, “Ini bukan tempat bagimu yang menuntut ilmu ketuhanan.” Ia menjawab, “Orang-orang ini, menurut agama, bukan laki-laki dan bukan pula perempuan. Aku seperti mereka pula. Aku tenggelam dalam keadaan tak bisa berbuat apa-apa, dan kejantananku merupakan sesalan bagiku. Bila kalian menggunakan pujian atau celaan untuk membeda-bedakan, itu berarti, kalian membuat berhala-berhala pujaan. Bila kalian menyembunyikan berhala-berhala di balik khirka kalian, mengapa mesti pula menampakkan diri di muka orang banyak sebagai sufi?”

Pertengkaran Dua Orang Sufi

Dua orang yang mengenakan khirka kaum sufi sedang caci-mencaci di muka pengadilan. Hakim melerai mereka dan berkata, “Tidaklah layak bagi kaum sufi untuk berbantah antara sesama mereka. Jika kalian mengenakan jubah sufi mengapa bertengkar? Jika kalian orang-orang yang suka akan kekerasan, maka buanglah jubah kalian. Tetapi jika kalian layak memakai jubah itu, berdamailah. Aku, seorang hakim dan bukan orang yang menempuh jalan ruhani, merasa malu karena khirka itu. Lebih baik kiranya setuju untuk berbeda pendapat ketimbang bertengkar sementara kalian mengenakan khirka.”
Jika kau ingin menempuh jalan cinta, hilangkanlah segala prasangka dan tinggalkan keterikatan pada hal-hal yang bersifat lahiriah. Sementara itu, agar tak menjadi sumber kejahatan, jangan berikan jalan bagi rasa dendam dan cinta-diri!

Raja dan Pengemis

Suatu ketika di Mesir seorang laki-laki malang jatuh cinta pada raja, yang setelah mendengar tentang ini lalu menyuruh panggil orang yang terpedaya itu dan katanya, “Karena kau gandrung padaku, maka kau harus memilih salah satu dari yang dua ini dipenggal kepalamu atau masuk penjara.” Orang itu mengatakan bahwa ia lebih suka masuk penjara, dan hampir lupa daratan ia pun siap hendak pergi. Tetapi raja memerintahkan untuk memenggal kepala orang itu. Seorang menteri istana berkata, “Ia tak bersalah; mengapa harus dibunuh?” “Karena,” kata raja, “ia bukan pencinta sejati dan tak tulus. Kalau ia sungguh-sungguh mendambakan aku, tentulah ia lebih suka kehilangan kepala ketimbang berpisah dari yang dicintainya. Mestinya cinta itu sepenuhnya atau tidak sama sekali. Sekiranya ia bersedia dihukum bunuh, tentulah aku akan mengenakan ikat pinggang kesetiaanku2 dan menjadi darwisnya. Ia yang mencintai aku, tetapi lebih mencintai kepalanya sendiri, bukanlah pencinta sejati.”

Ucapan Burung Ketiga


Burung ketiga berkat pada Hudhud, “Aku penuh dengan kesalahan, maka bagaimana aku akan berangkat menempuh jalan itu? Mungkinkah seekor lalat kotor layak bagi Simurgh di Pegunungan Kaukasus? Bagaimana mungkin pendosa yang berpaling dari jalan yang benar akan mendekati Raja?”
Hudhud berkata, “O burung yang kehilangan harapan, janganlah begitu berputus asa, mohonlah ampun dan kemurahan. Jika kau begitu mudah mencampakkan perisai itu, tugasmu sungguh-sungguh akan menjadi sulit …

Cerita Kecil tentang Seorang yang Jahat

Seorang yang bersalah karena banyak dosa bertaubat dengan pedihnya dan kembali ke jalan lurus. Tetapi pada waktunya, hasratnya akan keduniawian kembali lebih kuat dari yang sudah-sudah, dan sekali lagi ia tunduk pada pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan jahat. Kemudian sedih menghimpit hatinya dan membawanya ke dalam keadaan yang amat sengsara. Sekali lagi ia ingin mengubah sikapnya, tetapi tak berdaya berbuat demikian. Bagai sebutir gandum dalam panci panas, siang dan malam hatinya tak dapat tenang, dan airmatanya menyirami debu. Suatu pagi sebuah suara gaib bicara padanya, “Dengarkan Tuhan Penguasa Dunia. Ketika kau bertaubat pertama kali, kuterima taubatmu. Meskipun aku dapat menghukummu, namun aku tak berbuat demikian. Kedua kali, ketika kau terjatuh dalam dosa, kuberikan pertangguhan bagimu, dan kini, dalam kemarahanku pun, tak kumatikan kau. Hari ini, o gila, kau tak mengakui pengkhianatanmu dan ingin kembali padaku buat yang ketiga kali. Kembalilah kalau begitu, ke Jalan itu. Aku membukakan pintuku bagimu dan menunggu. Bila kau benar-benar telah mengubah sikapmu, dosa-dosamu akan diampuni.”

Malaikat Jibril dan Niat Baik

Suatu malam ketika Malaikat Jibril sedang berada di Sidrah, ia mendengar Tuhan mengucapkan kata perkenan, dan Jibril pun berkata dalam hati, “Seorang hamba Allah pada saat ini menyeru Yang Abadi, tetapi siapa dia gerangan? Aku hanya tahu bahwa dia tentulah besar kebajikannya, bahwa jasad nafsunya mati dan bahwa jiwanya hidup.” Dan segera Jibril pun berangkat mencari makhluk fana yang berbahagia itu. Tetapi meskipun ia memeriksa benua dan pulau-pulau, gunung-gunung dan tanah-tanah datar, tak diketemukannya orang itu. Maka kembalilah ia kepada Tuhan, dan mendengar lagi jawaban yang penuh berkah atas doa itu.
Sekali lagi Jibril terbang melintasi darat dan laut, tetapi akhirnya ia terpaksa bertanya, “O Tuhan, jalan mana yang akan membawa hamba ke tempat abdi Tuan itu?” Tuhan berfirman, “Pergilah ke negeri Rum dan di sebuah biara Nasrani akan kaudapati dia.” Jibril terbang ke biara itu dan di sana penerima karunia langit itu sedang bersujud di depan sebuah arca pujaan. “O Penguasa Dunia,” sembah Jibril, “Singkapkan kiranya tabir rahasia ini. Bagaimana mungkin Tuan mengabulkan doa pemuja arca di biara ini?” Tuhan bersabda, “Hati orang itu ada dalam kegelapan. Ia tak sadar bahwa dirinya tersesat. Karena ia tersesat lantaran tak tahu, maka kemurahanku yang penuh kasih mengampuninya dan aku telah membukakan jalan baginya ke tingkat yang luhur.” Kemudian Yang Maha Tinggi menggerakkan lidah orang itu sehingga ia dapat mengucapkan nama Tuhan.
Janganlah orang melalaikan hal yang paling kecil. Penyerahan diri tak dapat dibeli di toko; tidak pula mungkin kaucapai istana Yang Maha Tinggi dengan membayar sejumlah kecil.

Sang Sufi

Ketika seorang Sufi bergegas ke Baghdad, ia mendengar seseorang berkata, “Aku punya banyak madu yang hendak kujual murah sekali jika ada yang mau membelinya.” Kata Sufi itu, “Kawanku yang baik, sudikah kau memberikan padaku sedikit dengan cuma-cuma? ” Dengan marah orang itu menjawab, “Enyahlah. Apa kau gila dan kikir pula? Tidakkah kau tahu bahwa tak mungkin mendapatkan sesuatu dengan cuma-cuma?” Kemudian sebuah suara batin berkata pada sufi itu, “Tinggalkan tempat ini dan aku akan memberikan padamu apa yang tak terbeli dengan uang; segala kemujuran dan segala yang kaudambakan. Kerahiman Tuhan ialah matahari kemilau yang menjangkau hingga ke zarrah yang terkecil. Tuhan pun menegur Musa pula disebabkan seorang yang tak beriman.”

Tuhan Menegur Musa

Suatu hari Tuhan bersabda pada Musa, “Karun,1 sambil tersedu, menyeru kau tujuh kali dan kau tak menjawab. Kalau ia menyeru aku demikian, sekali saja, maka akan kurebut hatinya dari lubang penjara kemusyrikan dan kusalut dadanya dengan pakaian keimanan. O Musa, kau telah menyebabkannya binasa dengan seratus kepedihan, kau telah melontarkannya ke dalam tanah dengan keaiban. Seandainya kau khaliknya, kau tentu tak akan sekeras itu terhadapnya.”
Dia yang pengampun terhadap mereka yang tak mengenal kasihan, amat dipujikan oleh orang-orang yang pengasih. Jika kau melakukan kesalahan-kesalahan seperti kebanyakan orang-orang yang berdosa, kau sendiri akan menjadi salah seorang yang berdosa itu.

Catatan kaki:

1 Karun ialah salah seorang dari umat Nabi Musa; ia dianugerahi kekayaan yang berlimpah-limpah, tetapi amat sombong terhadap sesama kaumnya. (Lihat Al-QuranXXVIII: 76). Atas kehendak Tuhan ia beserta tempat tinggal (dan kekayaannya) kemudian ditelan bumi. (Lihat Al-Quran XXVIII: 81). – H.A.