Seekor burung lain berkata pada Hudhud, “Aku cinta akan emas; bagiku ia seperti buah badam dalam kulitnya yang keras itu. Bila aku tak punya emas, terikat rasanya tangan dan kakiku. Cinta akan keduniawian dan cinta akan emas telah mengisi diriku dengan keinginan-keinginan tak berarti, yang membutakan diriku akan perkara-perkara keruhanian.”
Hudhud menjawab, “O kau yang silau karena bentuk-bentuk lahiriah, yang dalam hatimu tak pernah memancar nilai kebenaran! Kau seperti makhluk yang hanya dapat melihat dalam gelap, kau seperti semut, yang tertarik oleh rupa. Berusahalah memahami makna segala sesuatu.
Tanpa warna, emas hanyalah, logam biasa; namun kau terpikat oleh warna, serupa anak kecil. Cinta akan emas tak layak bagi manusia sejati; kenapa orang menyembunyikan emas dalam faraj bagal?1 Adakah benda-benda berharga disembunyikan orang di tempat demikian? Jika kau tak membiarkan sesamamu mendapat manfaat karena emasmu, kau pun tak akan beroleh manfaat pula. Tetapi bila kau berikan sekeping obol2 kepada si malang yang miskin, kalian berdua akan mendapat manfaat. Jika kau punya emas, banyaklah yang dapat kauberi manfaat dengan itu; tetapi jika pundakmu bercap,3 itu pun karena emas juga. Untuk sebuah toko, kau harus membayar sewa dan kadang-kadang harganya itu jiwamu sendiri. Demi usahamu, kau korbankan apa saja, juga mereka yang menjadi pautan hatimu, dan pada akhirnya kau tak memiliki apa-apa. Kita hanya berharap agar kemujuran akan menyediakan sebuah tangga di bawah tiang gantungan. Itu tak berarti bahwa kau tak usah menggunakan benda-benda duniawi sama sekali, tetapi hendaknya kaupergunakan apa yang kaumiliki itu secara luas. Nasib baik hanya akan datang padamu apabila kau memberi. Jika kau tak dapat meninggalkan hidup sama sekali, setidak-tidakaya kau dapat membebaskan dirimu dari cin ta akan kekayaan dan kehormatan.”
Syaikh dan Muridnya
Seorang murid yang masih muda, tak diketahui syaikhnya (seperti dikiranya) mempunyai sekedar simpanan emas. Syaikh itu tak berkata apa-apa, dan suatu hari mereka pergi bersama-sama dalam suatu perlawatan. Akhirnya mereka sampai ke sebuah lembah yang gelap; di tempat masuk ke lembah itu terbentang dua jalan. Si murid mulai khawatir, sebab emas (memang) merusak pemiliknya. Gemetar ia pun bertanya pada syaikhnya, “Jalan mana yang mesti kita tempuh?” Syaikh itu menjawab, “Bebaskan dirimu dari apa yang membuatmu khawatir itu, maka jalan mana pun tak menjadi soal. Setan takut akan orang yang tak mempedulikan uang, dan cepat akan menghindar daripadanya. Demi sebutir emas kau membelah sehelai rambut. Secara agama, emas seperti keledai yang lumpuh; tak ada harganya, hanya merupakan beban. Bila kekayaan datang pada seseorang dengan tak disangka-sangka, mula-mula akan membuatnya bingung, kemudian menguasainya. Ia yang terikat dengan cinta akan uang dan harta milik, terikatlah tangan dan kakinya dan dilontarkan ke dalam lubang-penjara. Hindarilah lubang penjara yang dalam ini jika kau bisa; jika tidak, tahan nafasmu, sebab udara didalamnya amat luar biasa pengapnya.”
Tuhan Menegur Seorang Darwis
Seorang suci yang telah menemukan ketenteraman dalam Tuhan menyerahkan seluruh dirinya dalam sembah dan puja selama empat puluh tahun. Ia telah melarikan diri dari dunia ini, tetapi karena Tuhan begitu mesra menyatu padanya, orang itu pun merasa puas. Darwis ini telah memagari sebidang tanah di gurun; di tengah-tengahnya ada sebatang pohon, dan di pohon itu seekor burung telah membuat sarangnya. Nyanyian burung itu merdu terdengar, karena setiap nadanya mengandung seratus rahasia. Hamba Tuhan itu terpesona. Tetapi Tuhan menyampaikan pada seorang arif tentang ihwal peristiwa itu dengan kata-kata ini, “Katakan pada sufi itu bahwa aku heran setelah berkhusyuk selama bertahun-tahun, ia telah berhenti dengan menjual aku seharga seekor burung. Memang benar burung itu mengagumkan, tetapi nyanyiannya telah menjerat sufi itu dalam sebuah perangkap. Aku telah membeli dia dan dia telah menjual aku.”
No comments:
Post a Comment