Thursday, August 18, 2011

Dalih Burung Kesepuluh


Burung ini berkata pada Hudhud, “Aku takut akan maut. Kini lembah ini luas, dan aku tak punya apa-apa sama sekali untuk perjalanan ini. Aku amat diliputi ketakutan akan maut sehingga aku akan mati di tempat perhentian pertama. Andaikan aku seorang amir yang penuh kuasa sekalipun, pada saat datangnya ajal, akan tak kurang juga ketakutanku. Ia yang dengan pedangnya mencoba menangkis maut, akan mendapatkan pedangnya itu patah bagai sebatang kalam; sebab sayang, kepercayaan akan kekuatan tangan dan pedang hanya akan membawa kekecewaan dan kesedihan.”
Hudhud menjawab, “O kau yang lembek dan lemah kemauan, inginkah kau tinggal hanya sebingkai tulang dan sumsum semata? Tidakkah kau tahu bahwa hidup ini, baik panjang atau singkat, tercipta dari sekelumit nafas? Tidakkah kau mengetahui bahwa barangsiapa dilahirkan harus mati pula? Bahwa ia akan masuk tanah dan bahwa angin akan mencerai-beraikan unsur-unsur yang membentuk tubuhnya?
Kau diberikan pada maut sebagai santapannya; dan kau dimasukkan ke dunia untuk disingkirkan dari sana pula! Langit bagai pinggan terbalik, yang setiap senja tercelup dalam darah matahari terbenam. Dapat dikatakan bahwa matahari itu, bersenjatakan pedang bengkok, tengah memenggal kepala demi kepala di pinggan ini. Apakah kau baik atau buruk, kau hanyalah setitik air dicampur dengan tanah. Meskipun sepanjang hidupmu kau mungkin ada dalam kedudukan yang penuh kekuasaan, pada akhirnya kau akan mengalami bencana kematian juga.”

Feniks

Feniks1 seekor burung yang mengagumkan dan indah, hidup di India. Ia tak punya jodoh dan hidup sendirian. Paruhnya, yang amat panjang dan keras, dilubangi bagai seruling dengan hampir seratus lubang. Setiap lubang itu mengeluarkan suara dan dalam setiap suara itu ada kerahasiaan tersendiri. Kadang ia memperdengarkan musik lewat lubang-lubang itu, dan bila burung-burung dan ikan-ikan mendengar lagunya yang sayu merdu itu, mereka pun terbangkit, dan hewan-hewan paling ganas pun terharu; kemudian mereka semua terdiam. Seorang filsuf suatu kali menengok burung ini dan belajar dari dia tentang ilmu musik. Feniks itu hidup sekitar seribu tahun dan ia tahu pasti akan hari kematiannya. Bila saatnya tiba, ia kumpulkan di seputarnya sejumlah daun-daun palma, dan kebingungan di antara daun-daun itu, ia pun melengkingkan jeritan-jeritan yang sayu. Dari lubang-lubang dalam paruhnya dipancarkannya beragam lagu, dan musik ini terangkat dari dasar hatinya. Ratapan-ratapannya menyatakan dukacita kematian, dan ia pun menggigil bagai sehelai daun. Mendengar terompetnya burung-burung dan hewan-hewan mendekat untuk memberikan bantuan pada peristiwa besar ini. Kini mereka pun menjadi bingung, dan banyak yang mati karena kehilangan tenaga. Sementara feniks itu masih bernafas, dikepak-kepakkannya sayapnya dan dikerutkannya bulu-bulunya, dan dengan demikian ia memancarkan api. Api itu menjalar ke daun-daun palma, dan segera daun-daun dan burung itu pun menjadi bara yang hidup dan kemudian menjadi abu. Tetapi ketika bunga-api penghabisan telah padam, seekor feniks kecil yang baru timbul dari abu itu.
Pernahkah terjadi pada siapa pun peristiwa dilahirkan kembali sesudah mati itu? Andaikan kau hidup sama lamanya dengan feniks itu sekalipun, namun kau akan mati juga bila kadar hidupmu sudah ditentukan. Hidup feniks yang seribu tahun itu penuh dengan ratapan dan ia tinggal sendirian tanpa kawan dan anak, dan tak berhubungan dengan siapa juga. Ketika saat akhir itu tiba, ia membuang abunya sama sekali, sehingga dapatlah kauketahui bahwa tiada siapa pun dapat menghindari kematian, meski ia mempergunakan muslihat apa pun. Maka ambil pelajaran dari keajaiban feniks itu. Maut ialah tiran, namun kita harus selalu ingat akan maut itu. Dan meskipun banyak yang mesti kita derita, namun tak ada yang dapat dibandingkan dengan keadaan hendak mati itu.

Nasihat Tai Waktu Hendak Meninggal

Ketika Tai terbaring hampir meninggal, seseorang bertanya padanya, “O Tai, kau telah mengetahui hakikat segala sesuatu, bagaimana keadaanmu sekarang?” Katanya, “Aku tak dapat mengatakan apa-apa tentang keadaanku. Seperti angin aku telah mengembara ke mana-mana selama hidupku, dan kini saat akhir itu akan segera tiba, dan aku akan dikuburkan, maka, selamat malam.”
Tiada obat pencegah maut selain menatapnya senantiasa dengan berani. Kita semua dilahirkan untuk mati; hidup tak akan tinggal bersama kita; kita harus tunduk. Bahkan dia yang menguasai dunia di bawah cap cincinnya, kini hanya merupakan barang tambang dalam tanah.2

Isa dan Kendi Berisi Air

Isa minum air dari sebuah sungai jernih yang rasanya lebih nyaman dari embun pada bunga mawar. Salah seorang pengikutnya mengisi kendi dengan air sungai itu, dan mereka pun pergi meneruskan perjalanan. Karena haus, Isa minum seteguk air dari kendi itu, tetapi air itu terasa pahit, dan ia tertegun heran, lalu berdoa, “O Tuhan, air sungai dan air dalam kendi ini sama. Tetapi mengapakah yang satu lebih manis dari madu dan yang lain begitu pahit?” Lalu kendi itu pun bicara, dan katanya pada Isa, “Aku sudah amat tua, dan bentukku sudah diubah-ubah seribu kali di bawah bentangan kubah yang sembilan ini — kadang sebagai jambangan, kadang sebagai kendi dan kadang sebagai bejana. Bentuk apa pun yang ada padaku, selalu kumiliki dalam diriku kepahitan maut. Aku dibuat sedemikian rupa sehingga air yang kusimpan akan selalu ikut mengandung kepahitan itu.”
O makhluk yang masa bodoh! Berusahalah memahami arti kendi itu. Berusahalah menemukan rahasia itu sebelum kau mati. Jika selagi kau hidup, kau tak dapat menemukan dirimu sendiri, mengenal dirimu sendiri, bagaimana kau akan dapat memahami rahasia hidupmu bila kau mati? Kau ikut serta dalam kehidupan makhluk, namun kau hanya makhluk semu.

Socrates Kepada Murid-Muridnya

Ketika Socrates hampir meninggal, salah seorang muridnya berkata padanya, “Guru, setelah Guru kami mandikan dan kami selubungi kain kafan, di manakah Guru ingin kami kuburkan?” Socrates menjawab? “Jika kautemukan diriku, muridku tercinta, kuburkan aku di mana kau suka, dan selamat malam! Mengingat bahwa dalam hidupku selama ini aku tak menemukan diriku sendiri, bagaimana kau akan menemukan diriku waktu aku mati? Aku telah hidup dengan laku sedemikian rupa sehingga pada saat ini aku hanya tahu bahwa sejemput pengetahuan tentang diriku sendiri tidaklah jelas.”

No comments:

Post a Comment