Wednesday, October 26, 2011

Burung ke-17 bertanya pada HudHud


Seekor burung lain bertanya pada Hudhud, “Selama hayat dikandung badan, cinta akan Yang Abadi bagiku amat mulia dan dapat kuterima, dan aku tak pernah berhenti mengingat dia. Aku telah bergaul dengan segala makhluk yang hidup; dan jauh dari perasaan terikat pada mereka, aku pun tak terikat dengan siapa saja. Kedunguan cinta menguasai seluruh pikiranku, maka bagiku, cinta pun cukuplah. Tetapi cinta demikian tidaklah menguntungkan bagi siapa pun, dan kini saatnya telah tiba ketika aku harus menarik garis batas pada hidupku agar aku dapat mengambil piala cinta dari kekasihku; maka mata hatiku akan menjadi bercahaya karena keindahannya, dan tanganku akan menyentuh lehernya sebagai tanda permesraan.”
Hudhud menjawab, “Bukanlah dengan penyombongan yang penuh lagak demikian maka kita dapat menjadi tamu terhormat bagi Simurgh di Pegunungan Kaukasus. Janganlah begitu menyombongkan cinta yang menurut keyakinanmu kaurasakan terhadapnya, sebab cinta itu tak dikaruniakan pada setiap makhluk untuk memilikinya. Perlu kiranya angin kemujuran menyingkapkan tabir rahasia itu, dan kemudian Simurgh akan menarik kau ke dekatnya dan kau pun akan duduk bersamanya dalam sanastrinya. Bila kau ingin sampai ke tempat suci itu, lebih dulu kau harus berusaha memiliki pengetahuan keruhanian; jika tidak, cintamu padaSimurgh akan berubah menjadi siksaan. Demi kebahagiaanmu yang sejati, maka perlu hendaknya Simurgh pun mencintai kau pula.”

Mimpi Seorang Pengikut Bayazid

Ketika Bayazid meninggalkan istana dunia ini, seorang pengikutnya melihatnya malam itu juga dalam mimpi dan menanyakan pada syaikh yang utama itu bagaimana ia dapat terbebas dari Munkar dan Nakir.1
Sufi itu pun berkata padanya, “Ketika kedua malaikat ini menanyakan padaku tentang Al-Khalik, kukatakan pada mereka, ‘Pertanyaan itu tak dapat dijawab dengan tepat, sebab jika kukatakan, “dia Tuhanku, begitu saja”, ini hanya akan menyatakan keinginan dari pihakku semata; lebih baik bila kalian kembali kepada Tuhan dan mohon bertanya pada-Nya, bagaimana pendapat-Nya tentang diriku. Bila ia menamakan aku hamba-Nya, maka kalian akan tahu bahwa demikianlah adanya. Bila tidak, maka Ia telah meninggalkan aku pada perjanjian yang mengikatku. Karena tak mudah mencapai persatuan, dengan Tuhan, adakah pantas bagiku untuk memanggil Dia Junjunganku? Jika Ia tak berkenan dengan pengabdianku, bagaimana dapat aku mengaku bertuan padaNya? Memang benar bahwa aku telah menundukkan kepalaku tetapi perlu pula kiranya bahwa Dia menamakan aku hamba-Nya’.”

Mahmud di Bilik-Panas Hammam

Suatu malam Mahmud, dalam keadaan sedih, pergi ke hamman dengan menyamar. Seorang pelayan muda menyambutnya dan menyediakan segala yang perlu untuk dapat berkeringat dengan bertangas pada perbaraan yang panas. Kemudian disuguhkannya pada Sultan sekedar roti kering, dan Sultan pun menyantapnya. Lalu kata Sultan dalam hati, “Kalau tadi pelayan ini keberatan menerimaku, tentulah akan kusuruh penggal kepalanya.” Akhirnya Sultan mengatakan pada orang muda itu akan kembali ke istananya. Kata orang muda itu, “Tuanku telah menyantap makanan hamba Tuanku telah mengetahui tempat tidur hamba, dan Tuanku telah menjadi tamu hamba. Hamba akan selalu suka menerima Tuanku. Meskipun dalam kenyataannya kita berasal dari zat yang sama, namun dalam hal-hal lahiriah, bagaimana dapat Tuanku diperbandingkan dengan seorang yang berkedudukan rendah seperti hamba ini?” Sultan amat berkenan dengan jawaban ini, sehingga tujuh kali lagi ia pergi sebagai tamu pelayan itu. Pada kesempatan terakhir dikatakannya pada pelayan itu agar mengajukan satu pennohonan. “Bila hamba, sebagai pengemis ini, harus mengajukan suatu permohonan,” kata pelayan itu, “Sultan tentu tak akan mengabulkannya.” “Mintalah apa yang kau inginkan,” kata Sultan, “meskipun itu berupa permintaan untuk meninggalkan hammam dan menjadi raja.” “Hanya satu saja permohonan hamba,” kata si pelayan, “yaitu, bahwa hendaknya Sultan akan terus menjadi tamu hamba. Menjadi pelayan-mandi yang duduk di dekat Tuanku dalam bilik-panas lebih baik daripada menjadi raja di sebuah taman tak bersama Tuanku. Karena kemujuran telah datang pada hamba lantaran bilik-panas ini, maka tak tahu berterimakasihlah hamba ini bila hamba tinggalkan bilik ini. Kehadiran Tuanku telah menerangi tempat ini; apakah yang lebih baik dapat hamba minta selain diri Tuanku sendiri?”
Bila kau mencintai Tuhan, berusahalah pula untuk dicintai-Nya. Tetapi sementara ada yang mencari cinta ini, yang senantiasa usang dan senantiasa baru, maka ada pula yang menginginkan dua keping obol2 perak dari khazanah dunia; ia mencari setitik air ketika ia mestinya dapat memiliki lautan.

Dua Orang Pengangkut Air

Seorang pengangkut air, ketika bertemu dengan seorang pengangkut air yang lain, meminta sedikit air padanya. Yang dimintai itu berkata, “O kau yang tak tahu akan keruhanian, mengapa tidak kau minum kepunyaanmu sendiri?” Yang meminta berkata, “Beri aku sedikit airmu, kau yang memiliki pengetahuan ruhani, sebab aku muak akan kepunyaanku sendiri.”
Adam kenyang dengan apa-apa yang tak asing lagi baginya, dan itulah sebabnya ia pun makan makanan terlarang,3 ialah sesuatu yang baru baginya. Dijualnya apa-apa yang lama itu untuk sekedar mendapatkan makanan itu. Ia pun menjadi si mata satu. Cinta datang dan mengetuk pintu baginya. Ketika ia sama sekali lebur dalam cahaya kilat cinta, apa yang lama dan yang baru pun lenyap dan tiada apa pun lagi yang tinggal! Tetapi tidaklah layak bagi siapa saja untuk muak terhadap diri sendiri dan menolak sama sekali hidupnya yang lama.

Catatan kaki:

1 Kedua malaikat yang menanyai si mati dalam kubur.
2 Dalam konteks ini: mata uang (dalam arti umum), atau lebih luas, dengan atribut: perak di sini dapat diartikan kekayaan. – H.A. Sedang arti sebenarnya: mata uang kecil yang dipergunakan dahulu kala di Timur Dekat dan Eropa.
3 Dalam teks terjemahan Inggris dari C.S. Nott ini sebenarnya disebutkan “wheat” (“gandum”). Kemudian dalam Glossarium yang dibuatnya mengenai Adam disebutkan bahwa “gandum” ialah makanan terlarang bagi Adam di sorga. (The Conferenfce of the Birds, halaman 141). Tetapi tentang ini saya tak menemukan rujukannya dalam Al-Quran. Saya hanya menemukan di situ bahwa Tuhan melarang Adam mendekati “pohon ini” (“… wa la taqraba hazihi s-saja- rata …” seperti disebutkan dalam Surah 11: 35. Atau setan membujuk Adam dengan mengatakan bahwa ia akan menunjukkan padanya “pohon khuldi” (“pohon keabadian”– “tree of immortality” menurut Pickthall) seperti disebutkan dalam Surah XX: 120. Tetapi dalam tulisan Attar di atas, yang penting bagi kita bukanlah macam makanan yang terlarang itu (arti harfiahnya), melainkan arti maknawinya. – H.A.

No comments:

Post a Comment