Wednesday, October 26, 2011

Catatan Tentang Kaum Sufi


Sebutan Sufi diturunkan dari kata suf, bulu domba –jubah bulu domba kaum zahid. Kaum Sufi mengikuti ajaran batiniah dari Quran. Bersama dengan sistem pemikiran yang berdasarkan petunjuk-petunjuk dari kitab suci mereka, mereka mempunyai metoda yang praktis untuk menyempurnakan diri sendiri, yang diajarkan secara lisan. Dengan latihan-latihan, pengambilan sikap dan tarian, tenaga-tenaga insan yang senantiasa terlucut dari dirinya, akan bisa dimanfaatkan dan diarahkan untuk pengembangan batin dan peningkatan kesadaran. Maksud dan tujuannya ialah persatuan jiwa dengan Tuhan. Mungkin ada saat-saat pendahuluan tentang ini –saat-saat penyingkapan keinsafan (revelation) dan haru-gembira (ectasy)– “karunia-karunia”, demikianlah biasa disebutkan, tetapi kesempurnaan, persatuan dengan Tuhan, harus diusahakan; harus ada usaha yang terus-menerus.
Ada satu Tuhan. Segala sesuatu ada dalam Dia, dan Dia ada dalam segalanya. Segala sesuatu, yang tampak dan tak tampak, adalah pancaran-pancaran daripadaNya. Agama-agama, pada hakikatnya, bukanlah yang terutama, meskipun agama-agama itu dapat berguna untuk memimpin manusia ke arah Kenyataan. Baik dan Buruk, sebagaimana kita mengartikannya, tidaklah ada sebenarnya, karena segalanya bertolak dari Wujud Yang Satu, Tuhan; tetapi serempak dengan itu, ada “baik sejati” dan “buruk sejati”. Manusia tidak bebas dalam tindakan-tindakannya; ia tak memiliki kemauan bebas, meskipun ini dapat dilakukan dengan berusaha menempuh jalan yang benar. Ia terbelok ke sana-sini karena pengarah-pengaruh dari dalam dan dari luar dirinya -menjadi permainan setiap angin yang bertiap. Persatuan dicapai dengan dua upaya berupa pengorbanan dan pembebasan: pengorbanan keinginan-keinginan, kesombongan dan angan-angan kita sendiri di satu pihak, dan di pihak lain pembebasan dari perkara-perkara duniawi –dari cinta akan kekuasaan, kemasyhuran, kekayaan dan kehormatan. Tetapi doa dan puasa juga dapat menjadi rintangan besar; kita dapat menjadi terikat dengan apa saja. Seorang Sufi, bagaimanapun juga, hendaknya tidak meninggalkan kebutuhan-kebutuhan dan tidak menarik diri dari dunia. Ia harus ada di dunia tetapi tidak terikat dengan dunia. Adalah suatu rahmat yang besar memiliki apa yang perlu bagi badan jasmani. Seks dengan sendirinya bukan perkara dosa, seperti yang terjadi dalam agama Kristen ortodoks, melainkan suatu milik yang berharga. Arti dan guna tenaga seks dapat dimengerti. Seperti ditunjukkan Orage dalam esainya “Tentang Cinta”, “Kesucian pancaindera (dahulu kala) diajarkan sejak awal masa kanak-kanak. Dengan cara demikian, erotisisma menjadi suatu seni dalam bentuk tertinggi yang pernah diketahui dunia. Gemanya yang sayup masih terdapat dalam sastra Persia dan sastra Sufi dewasa ini.”
Jiwa (dalam arti bagian tertinggi dari manusia yang mendambakan kesempurnaan) ada lebih dulu daripada raga dan terkurung dalam raga itu seperti dalam sebuah sangkar. Hidup manusia ialah sebuah perjalanan yang dilakukan bertahap-tahap. Dan pencari Tuhan ialah seorang musafir penempuh perjalanan itu, yang harus melakukan usaha-usaha keras untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengertian yang benar.
Para pengikut sufisma mengatakan bahwa sufisma selalu ada dengan berbagai nama; dan bahwa sistem dan metoda, dalam bentuk-bentuk yang berbeda-beda, dikenal oleh orang-orang Mesir, Hindu, Buddha, Yahudi, Yunani dan Nasrani yang mula-mula –dalam kenyataannya, oleh agama-agama besar pada mulanya. Sufisma ada di Barat dewasa ini.
Hanya bantuan mereka yang telah mencapai tingkat perkembangan tertentu dapat membimbing si musafir di Jalan itu. Asalkan ia memiliki kesanggupan untuk mentaati disiplin dan melakukan usaha, sehari saja –atau bahkan satu jam saja, di kalangan orang-orang yang arif, akan lebih berharga daripada bertahun-tahun menjalankan pertarakan dan upacara-upacara lahiriah dalam peribadatan.
Di antara peraturan-peraturan bagi murid-murid di hadapan seorang guru dapat disebutkan yang berikut: “Perhatikan dan jangan banyak bicara. Jangan jawab pertanyaan yang tidak ditujukan padamu; tetapi jika ditanya, jawablah segera, dan jangan malu mengatakan, ‘aku tak tahu’. Jangan berdebat demi perdebatan semata. Jangan menyombong di hadapan yang lebih tua. Jangan mencari tempat paling terhormat. Jangan bersikap kelewat khidmat. Patuhi adat kebiasaan sehari-hari, dan sesuaikan diri dengan keinginan-keinginan orang lain selama keinginan-keinginan itu tidak berlawanan dengan keyakinan batinmu. Jangan membuat kebiasaan apapun, kecuali jika itu kewajiban keagamaan atau yang berguna bagi orang-orang lain, sebab itu dapat menjadi berhala.”
Kaum Sufi mengatakan bahwa hampir setiap orang dilahirkan dengan kesanggupan yang memungkinkan pengembangan batin, tetapi bahwa orang tuanya dan orang-orang sekelilingnya membuat dia menjadi seorang Yahudi, seorang Hindu, atau seorang Majusi, sehingga ia penuh dengan prasangka dan menerima saja apa yang dikatakan orang-orang lain tanpa mengingat pengalaman atau pemikirannya sendiri, dan ini menjadi batu penarung. Bila orang yang “beriman” orang yang telah menyempurnakan diri meninggal, jiwanya melayang ke langit yang sesuai dengan tingkat kesempurnaan yang telah dicapainya. Tetapi, betapapun banyak “pengetahuan” yang dimiliki seseorang, kalau ia tak menilik dirinya sendiri, dan mengakui dalam hati bahwa sesungguhnya ia tak mengerti apa-apa, maka segala yang telah didapatnya akan menjadi seperti “angin di tangan.”

No comments:

Post a Comment