Hudhud melanjutkan, “Setelah lembah yang kubicarakan itu, menyusul lembah yang lain – Lembah Keinsafan, yang tak bermula dan tak berakhir. Tiada jalan yang sama dengan jalan ini, dan jarak yang harus ditempuh untuk melintasinya tak dapat diperkirakan. Keinsafan, bagi setiap penempuh perjalanan itu, kekal sifatnya; tetapi pengetahuan hanya sementara. Jiwa, seperti raga, ada dalam perkembangan maju dan mundur; dan Jalan Ruhani itu hanya menampakkan dirinya dalam tingkat di mana si penempuh perjalanan itu telah mengatasi kesalahan-kesalahan dan kelemahankelemahannya, tidur dan kemalasannya dan setiap penempuh perjalanan itu akan bertambah dekat dengan tujuannya, masing-masing sesuai dengan usahanya. Meskipun seekor lalat terbang dengan segala kemampuannya dapatkah ia menyamai kecepatan angin? Ada berbagai cara melintasi Lembah ini, dan semua burung tidaklah sama terbangnya. Keinsafan dapat dicapai dengan beragam cara-sebagian ada yang menemukannya di Mihrab,1 yang lain pada arca pujaan.
Bila matahari keinsafan menerangi jalan ini, masing-masing akan menerima cahaya sesuai dengan amal usahanya dan mendapatkan tingkat yang telah ditetapkan baginya dalam menginsafi kebenaran. Bila rahasia hakikat segala makhluk menyingkapkan dirinya dengan jelas padanya, maka perapian dunia pun menjadi taman mawar. Ia yang berusaha akan dapat melihat buah badam yang terlindung dalam kulitnya yang keras itu. Ia tak akan lagi sibuk memikirkan dirinya sendiri, tetapi akan menengadah memandang wajah sahabatnya. Pada setiap zarrah ia akan dapat melihat keseluruhan; ia akan merenungkan ribuan rahasia yang cemerlang.
Tetapi berapa banyak yang telah tersesat dalam mencari penunjuk Jalan yang telah menemukan rahasia itu! Perlu kiranya mempunyai keinginan yang dalam dan tetap untuk menjadi sebagaimana keadaan kita semestinya buat melintasi lembah yang sulit ini. Sekali kau telah mengenyam rahasia-rahasia itu, maka kau pun akan sungguh-sungguh ingin memahami semua itu. Tetapi apa pun yang mungkin kau capai, jangan sekali-kali lupa akan sabda Quran, ‘Adakah lagi yang lain?’
Akan halnya kau yang tidur (dan aku tak dapat memuji kau karena yang demikian), mengapa tak bersedih? Kau yang tak melihat keindahan sahabatmu, bangunlah dan berusahalah mencari! Berapa lama kau akan tinggal tetap sebagaimana keadaanmu sekarang, seperti keledai tanpa tali leher!”
Airmata Batu
Adalah seorang laki-laki di Cina yang mengumpulkan batu-batu tiada hentinya. Ia mengucurkan airmata berlimpahan, dan bila airmata itu jatuh ke tanah, berubahlah jadi batu, yang tiap kali dikumpulkannya. Kalau awan mesti mencucurkan airmata seperti itu, maka akan menimbulkan kesedihan dan keluhan.
Pengetahuan sejati menjadi milik pencari yang tulus. Jika diperlukan mencari pengetahuan ke negeri Cina, maka pergilah. Tetapi pengetahuan dirusakkan oleh pikiran dangkal, ia mengeras, bagai batu. Berapa lama lagi pengetahuan sejati akan terus salah dimengerti? Dunia ini, rumah kesedihan ini, ada dalam kegelapan; tetapi pengetahuan sejati ialah perrnata, ia akan menyala bagai lampu dan menunjukkan jalan padamu di tempat yang kelam ini. Bila kau remehkan permata ini, kau akan sungguh-sungguh patut disesalkan. Bila kau tercecer di belakang, kau akan menangis pedih. Tetapi bila kau hanya tidur sedikit di malam hari, dan puasa di siang hari, kau mungkin mendapatkan apa yang kaucari. Maka carilah, dan tenggelamkan dirimu dalam usaha mencari itu.
Pencinta yang Tidur
Seorang pencinta, merasa cemas dan risau, dan letih karena mengeluh, tertidur di atas gundukan sebuah makam. Kekasihnya datang mendekatinya dan melihat dia tertidur, ditulisnya sepucuk surat kecil lalu disematkannya di jubah pencintanya itu. Ketika si pencinta bangun dan membaca apa yang telah ditulis kekasihnya itu, ia pun mengeluh sedih, karena surat itu berbunyi, “O laki-laki goblok! Bangkitlah, dan bila kau pedagang, berdaganglah dan dapatkan uang; jika kau seorang zahid, bangunlah malam hari dan berdoalah pada Tuhan dan jadilah hamba-Nya. Tetapi jika kau seorang pencinta, merasalah malu pada dirimu sendiri. Apa gunanya tidur bagi mata pencinta? Di siang hari pencinta berlomba dengan angin; di malam hari hatinya yang menyala membuat wajahnya bersinar seri dengan cemerlang cahaya bulan. Jika kau bukan laki-laki semacam itu, jangan lagi berlagak mencintai aku. Jika seseorang bisa tidur di tempat lain dan bukan di kuburnya, boleh kukatakan dia itu seorang pencinta-tetapi, pencinta dirinya sendiri.”
Perajurit Pengawal yang Sedang Dalam Bercinta
Seorang perajurit sedang dalam bercinta. Selagi tidak mengawal pun ia tak bisa tidur. Akhirnya seorang kawan memintanya agar tidur beberapa jam. Kata perajurit itu, “Aku perajurit pengawal, dan aku sedang dalam bercinta. Bagaimana aku bisa istirahat? Seorang perajurit yang sedang bertugas tak boleh tidur, maka yang demikian itu akan merupakan keuntungan bagi dia dalam bercinta. Setiap malam cinta menguji diriku, dan karena itu aku dapat tetap berjaga dan mengawal benteng. Cinta ini sahabat bagi perajurit pengawal, karena keadaan jaga menjadi bagian dari dirinya; ia yang mencapai keadaan demikian akan selalu awas.”
Jangan tidur, o insan, jika kau berusaha mendapatkan pengetahuan tentang dirimu sendiri. Kawal baik-baik benteng hatimu, karena banyak pencuri di mana-mana. Jangan biarkan para perampok mencuri permata yang kau bawa. Pengetahuan sejati akan datang pada dia yang dapat tetap berjaga. Ia yang dengan sabar berkawal akan sadar-tahu kapan Tuhan datang mendekat. Para pencinta sejati yang ingin menyerahkan diri dalam bius kemabukan cinta akan pergi menyendiri. Ia yang memiliki cinta ruhani menggenggam di tangannya kunci kedua dunia. Jika ia perempuan, ia akan menjadi laki-laki; dan jika ia laki-laki, ia akan menjadi lautan yang dalam.
Mahmud dan Si Gila Tuhan
Suatu hari, di gurun, Mahmud melihat seorang fakir yang menundukkan kepala dengan sedih berpunggung bungkuk karena duka. Ketika Sultan mendekatinya, orang itu berkata, “Enyahlah! Atau akan kupukul kau seratus kali. Pergi, kataku, kau bukan raja, melainkan orang yang berpikiran hina, seorang kafir di mata Tuhan.” Mahmud menjawab tajam, “Bicaralah padaku sebagaimana layaknya pada seorang sultan, jangan serupa itu.” Jawab fakir itu, “Jika kau tahu, o si bodoh, bagaimana kau terjungkir-balik, kerajaan dan kekayaan pun tak ada artinya; kau akan meratap tiada hentinya dan membakar kepalamu.”
No comments:
Post a Comment