Setelah Lembah Keesaan menyusul Lembah Keheranan dan Kebingungan, di mana kita menjadi mangsa duka dan kesedihan. Di sana keluhan bagai pedang, dan setiap nafas ialah keluhan pedih; di sana, adalah duka dan ratapan, dan kerinduan yang menyala. Siang dan malam pun serempak. Di sana, adalah api, namun kita merasa tertekan dan tak berpengharapan. Betapakah, dalam kebingungan ini, kita akan meneruskan perjalanan? Tetapi bagi yang telah mencapai keesaan, ia pun lupa akan segalanya dan lupa akan dirinya sendiri. Jika ia ditanya, “Adakah kau, atau tak adakah kau? Apakah kau merasa ada atau tidak? Apakah kau ada di tengah atau di tepi? Apakah kau fana atau kekal?” maka ia akan menjawab dengan kepastian, “Aku tak tahu apa-apa, aku tak mengerti apa-apa. Aku tak sadar akan diriku sendiri. Aku sedang dalam bercinta, tetapi dengan siapa, tak tahu aku. Hatiku penuh dan sekaligus juga hampa cinta.”
Puteri yang Mencintai Hambanya
Seorang raja, dengan kerajaannya yang membentang hingga ke ufuk-ufuk jauh, mempunyai seorang puteri secantik bulan. Di hadapan kecantikannya, bahkan peri-peri pun merasa malu. Dagunya yang berlekuk serupa dengan sumur Yusuf,1 dan ikal rambutnya melukai seratus hati. Kedua alisnya busur kembar. Dan bila dilepaskannya panah-panah dari busur itu, ruang di antaranya pun menyanyikan pujian-pujian untuknya. Matanya, yang sayu bagai kembang narsis, melemparkan duri-duri bulu matanya di jalan para arif. Wajahnya bagai matahari ketika menggantikan keperawanan bulan. Malaikat Jibril tak dapat mengalihkan matanya dari mutiara-mutiara dan manikam-manikam mulutnya. Senyum bibirnya mengeringkan air hayat yang memandangnya, yang masih mengemis sedekah dari bibir itu juga. Siapa memandang dagunya akan jatuh terjungkir ke sumber air yang berbuih-buih.
Raja itu juga mempunyai seorang hamba, orang muda yang begitu tampan sehingga matahari pun menjadi pucat dan cahaya bulan suram. Bila orang muda itu berjalan di jalan-jalan dan di pasar, orang banyak pun berhenti hendak memandangnya.
Kebetulan pada suatu hari puteri raja melihat hamba itu, dan segera ia pun jatuh hati. Pikiran hilang dan cinta pun menguasainya. Menarik diri dari kawan-kawannya, puteri itu merenung-renung. Dan dengan merenung-renung dan membayangkan, ia mulai terbakar cinta. Maka dipanggilnya kesepuluh dayang kehormatannya yang muda-muda. Mereka pemusik-pemusik ulung, pemain alat-alat tiup dan seruling; suara mereka seperti suara bulbul, dan nyanyian mereka, yang mencabik-cabik jiwa, sebanding dengan nyanyian Daud. Setelah menyuruh mereka berkumpul di sekelilingnya, ia pun menceritakan keadaan dirinya dengan mengatakan bahwa ia bersedia mengorbankan nama, kemuliaan dan hidupnya demi cintanya terhadap orang muda itu: sebab bila orang begitu tenggelam dalam cinta, ia canggung bagi hal-hal yang lain. “Tetapi,” katanya, “bila kukatakan padanya tentang cintaku, tak sangsi lagi dia akan melakukan sesuatu yang kurang pikir. Jika diketahui orang bahwa aku telah bermesraan dengan seorang hamba, maka dia maupun aku tentu akan menderita. Sebaliknya, bila ia tak memiliki aku, aku akan mati merana di balik tirai sanastri. Aku telah membaca seratus buku tentang kesabaran, namun aku tetap tak memiliki kesabaran itu. Apa dayaku! Aku harus mendapatkan jalan untuk menikmati cinta dari pohon saru yang lampai ini, sehingga gairah jasmaniku akan sejalan dengan kerinduan jiwaku – dan ini harus dilakukan tanpa setahu dia.”
Kemudian dayang-dayang yang bersuara merdu itu berkata, “Janganlah Tuanku Puteri bersedih. Malam nanti kami akan membawa dia ke mari tanpa setahu siapa pun, bahkan dia sendiri tak akan tahu sedikit pun tentang itu.”
Segera salah seorang gadis remaja itu pergi dengan diam-diam mendapatkan hamba itu, dan seperti bermain-main, dimintanya hamba itu membawa dua piala anggur. Ke dalam salah satu piala itu dimasukkannya obat, sambil dicari-carinya akal agar hamba itu mau meminumnya. Segera hamba itu pun tertidur, sehingga si dayang dapat melaksanakan rencananya, dan orang muda yang berdada perak itu tetap tak kabarkan dirinya.
Ketika malam tiba, dayang-dayang kehormatan itu datang mengendap-endap ke tempat si hamba terbaring, lalu menaruh orang itu di atas tandu dan membawanya ke tempat tuan puteri. Kemudian mereka dudukkan hamba itu di atas singgasana kencana dan mereka kenakan rangkaian mutiara di kepalanya. Pada tengah malam, masih sedikit terbius oleh obat itu, si hamba membuka mata dan melihat istana seindah sorga, sedang di sekelilingnya tempat-tempat duduk dari kencana. Tempat itu diterangi dengan sepuluh lilin besar yang diberi wangian damar-harum, sedang kayu cendana yang semerbak terbakar dalam bejana-bejana. Dara-dara itu mulai menyanyi dengan lagu-lagu yang demikian merdu sehingga pikiran seakan mengucapkan selamat tinggal pada jiwa, dan jiwa pada raga. Kemudian matahari anggur pun berputar-putar sekeliling nyala lilin-lilin itu. Bingung karena kegembiraan di seputarnya dan silau karena kecantikan puteri raja, orang muda itu kehilangan kesadarannya. Ia benar-benar tidak lagi ada di atas dunia ini dan tidak pula di dunia lain. Dengan hati penuh cinta, dan raga dikuasai gairah damba, di tengah segala keriangan ini ia pun tenggelam dalam haru-gembira. Matanya terpancang pada kecantikan puteri raja itu dan telinganya pada bunyi seruling-seruling bambu. Lubang hidungnya menghirup wangian damar harum, dan anggur di mulutnya menjadi serupa api cair. Puteri raja itu menciumnya, dan si hamba mengucurkan air mata kegirangan, sementara sang puteri menyatukan airmatanya dengan air mata hamba itu. Kadang sang puteri menekankan ciuman manis di mulut si hamba, kadang ciuman itu dibumbui rasa garam; kadang sang puteri mengusutmasaikan rambut si hamba yang panjang itu, kadang kehilangan dirinya sendiri di mata si hamba. Hamba itu memiliki sang puteri; dan demikianlah mereka lewatkan waktu itu hingga fajar terbit di Timur. Ketika sepoi pagi berembus, hamba muda itu merasa sedih, tetapi mereka buat lagi dia tidur lalu mereka bawa kembali ke tempat kawan-kawannya.
Ketika dia yang berdada perak itu sadar, tanpa tahu kenapa, dia pun menangis. Orang boleh mengatakan bahwa peristiwa itu sudah selesai, maka apa gunanya diratapi. Hamba itu merobek-robek pakaiannya, menarik-narik rambutnya dan mengotori kepalanya dengan tanah. Mereka yang ada di sekelilingnya menanyakan kenapa ia berbuat demikian, dan apa yang telah terjadi. Kata hamba itu, “Tak mungkin menggambarkan apa yang telah kulihat, tiada orang lain yang mungkin pernah melihatnya kecuali dalam mimpi, karena apa yang telah terjadi padaku tak mungkin pernah terjadi pada siapa pun sebelumnya. Tiada lagi rahasia yang lebih menakjubkan.”
Seorang kawannya berkata, “Bangunlah dan ceritakan pada kami setidak-tidaknya satu dari seratus peristiwa yang terjadi itu.” Jawab si hamba, “Aku bingung sebab apa yang kulihat itu kualami dengan tubuh lain. Selagi tak mendengar apa-apa, aku mendengar segalanya; selagi tak melihat apa-apa, aku melihat segalanya.”
Yang lain berkata, “Adakah kau telah kehilangan kesadaranmu atau adakah kau telah bermimpi?” “Ah,” kata hamba itu, “aku tak tahu apakah aku mabuk atau sadar ketika itu. Apakah lagi yang lebih membingungkan daripada sesuatu yang tak tersingkap dan juga tak tersembunyi. Apa yang telah kulihat itu tak mungkin akan kulupakan, namun aku tak dapat membayangkan di mana peristiwa itu terjadi. Selama semalam suntuk aku bersuka-suka dengan seorang puteri jelita yang tiada bandingnya. Siapa dan apakah sebenarnya dia itu, aku tak tahu. Hanya cinta yang tinggal, itu saja. Tetapi Tuhan mengetahui yang sebenarnya.”
Si Ibu dan Anaknya Perempuan yang Meninggal
Seorang yang sedang lewat, yang melihat seorang ibu sedang menangisi kubur anaknya perempuan, berkata, “Wanita ini lebih unggul daripada kami laki-laki, sebab ia tahu siapa yang telah hilang daripadanya dan dengan siapa dia telah berpisah. Beruntunglah perempuan, atau laki-laki, yang tahu siapa yang telah hilang daripadanya, dan siapa yang dia tangisi. Akan halnya diriku, meskipun aku duduk meratap dan airmataku mengucur bagai hujan, namun aku tak tahu siapa yang kutangisi. Perempuan ini menggondol bola keunggulan dari ribuan orang macam aku ini, sebab ia telah menemukan wangian makhluk yang telah hilang daripadanya.”
Kunci yang Hilang
Seorang Sufi mendengar orang berseru, “Adakah yang menemukan kunci? Pintuku terkunci dan aku berdiri di debu jalanan. Bila pintuku tinggal tertutup, apa yang mesti kulakukan?”
Sufi itu berkata padanya, “Mengapa kau risau? Karena pintu itu pintumu, tinggal saja di dekatnya, meskipun tertutup. Bila kau punya kesabaran untuk menunggu cukup lama tentulah seseorang akan membukakan pintu itu bagimu. Keadaanmu lebih baik dari keadaanku, sebab aku tak punya pintu maupun kunci. Doakan saja pada Tuhan semoga aku dapat menemukan pintu, yang terbuka ataupun tertutup.
Orang selalu hidup dalam angan-angan, dalam mimpi; tiada yang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Kepada dia yang mengatakan padamu, “Apa yang mesti kulakukan?” katakanlah padanya, “Jangan lakukan apa yang sudah biasa kau lakukan selama ini; jangan berbuat apa yang sudah biasa kau perbuat selama ini.” Ia yang memasuki Lembah Keheranan ini cukup sedih memikirkan seratus dunia. Bagi diriku, aku bingung dan tersesat. Ke mana aku akan melangkah? Doakan pada Tuhan semoga aku tahu! Tetapi ingat, ratapan insan akan menurunkan kerahiman.
Murid yang Melihat Gurunya dalam Mimpi
Seorang murid pada suatu malam melihat almarhum gurunya dalam mimpi dan berkata padanya, “Macam mana kiranya keadaan di tempat Tuan berada sekarang? Sepeninggal Tuan, murid Tuan ini telah terjerat dalam kebingungan dan merana karena duka.”
Sang guru menjawab, “Aku dalam keheranan sedemikian rupa sehingga aku hanya dapat menggigit punggung tanganku. Aku ada dalam lubang penjara, diam tercengang-cengang; dan aku lebih merasa terkejut daripada yang pernah kualami dalam hidup.”
No comments:
Post a Comment