Wednesday, October 26, 2011

Lembah Keesaan


Hudhud melanjutkan, “Kau seterusnya harus melintasi Lembah Keesaan. Di Lembah ini segalanya pecah berkeping-keping dan kemudian menyatu. Segala yang menegakkan kepala di sini menegakkan kepala dari kerah yang satu itu juga. Meskipun kau seakan melihat wujud yang banyak, namun pada hakikatnya hanyalah satu. Semua merupakan esa yang sempurna dalam keesaannya. Dan sekali lagi, yang kaulihat sebagai keesaan tidaklah berbeda dengan yang tampak sebagai banyak. Dan karena Wujud yang kubicarakan itu mengatasi keesaan dan hitungan, jangan lagi memikirkan keabadian sebagai yang dulu dan yang kemudian, dan karena kedua keabadian ini telah lenyap, jangan lagi membicarakannya. Bila segala yang tampak menjadi tiada, apakah lagi yang tinggal untuk direnungkan?”

Jawaban Si Gila Tuhan

Seseorang bertanya pada seorang arif, “Apakah dunia ini? Dengan apa dapat dibandingkan?” Jawabnya, “Dunia ini, paduan dari kengerian dan kejahatan ini, ialah bagai pohon-palma dari lilin dihiasi dengan seratus warna. Bila kauremas pohon itu, ia pun menjadi segumpal lilin; karena itu warna-warna dan bentuk-bentuk yang kaukagumi tidaklah berharga se-obol pun. Jika ada keesaan tak mungkin ada keduaan; baik ‘Aku’ maupun ‘Engkau’ tidaklah penting.
Tetapi apakah gunanya kata-kataku, meskipun itu timbul dari lubuk jiwaku, kalau kau tak merenungkannya. Bila kau telah tercebur ke dalam lautan kehidupan lahiriah, seperti ayam hutan dengan sayap dan lar yang tak dapat menopangnya, maka jangan sekali-kali berhenti memikirkan bagaimana mencapai pantai.”

Syaikh Bu Ali Dakkah

Seorang perempuan tua menyerahkan sekeping emas pada Bu Ali sambil berkata, “Terimalah ini dariku.” Jawab Bu Ali, “Aku hanya dapat menerima apa-apa dari Tuhan.” Perempuan tua itu menjawab dengan tepat, “Dari mana anda belajar melihat ganda? Anda bukan orang yang dapat menyimpul-uraikan. Sekiranya anda tak bermata juling, akan dapatkah anda melihat beberapa benda serempak?”
Tiadalah Ka’bah maupun Pagoda. Pelajarilah dari mulutku ajaran yang benar -adanya Wujud yang abadi. Kita jangan melihat siapapun yang lain kecuali Dia. Kita ada dalam Dia, karena Dia, dan bersama Dia. Kita mungkin pula berada di luar keadaan-keadaan ini. Siapa pun yang tak berendam dalam Lautan Keesaan tidaklah layak sebagai umat manusia.
Akan datang hari ketika Matahari akan menyingkapkan cadar yang menyelubunginya. Selama kau terpisah, baik dan buruk akan timbul dalam dirimu, tetapi bila kau meniadakan dirimu sendiri dalam Matahari Hakikat Keilahian, baik dan buruk itu akan teratasi oleh cinta. Selagi kau berlambat-lambat di jalan, kau akan tertahan oleh kesalahan-kesalahan dan kelemahan. Belumkah kau menyadari bahwa dalam dirimu ada kesombongan, kecongkakan, kebanggaan-diri, cinta-diri dan sifat-sifat lain yang kotor! Meskipun ular dan kalajengking mungkin mati tampaknya dalam dirimu, namun mereka hanya tidur; dan bila mereka tersentuh, mereka pun akan bangun dengan kekuatan seratus naga. Dalam masing-masing diri kita ada neraka ular. Bila kau dapat menyelamatkan dirimu dari makhluk-makhluk kotor ini, kau akan tinggal tenang; bila tidak, mereka akan menyakitkanmu dengan bisa meski kau di debu kubur sekalipun hingga hari perhitungan kelak.
Dan kini, o Attar, tinggalkan pembicaraanmu yang penuh ibarat dan kembalilah pada pemerian tentang lembah Keesaan yang penuh rahasia itu.
Hudhud pun melanjutkan, “Bila musafir ruhani memasuki Lembah ini, ia akan lenyap dan hilang dari pandangan, karena Wujud Tak Berbanding itu menampilkan dirinya; musafir itu akan diam karena Wujud ini akan bersabda.
Bagian akan menjadi keseluruhan, atau lebih tepat, tak akan ada lagi bagian maupun keseluruhan. Dalam kelompok Rahasia ini akan kaulihat ribuan orang dengan pengetahuan kecerdasan pikiran, bibir mereka ternganga diam. Apakah artinya pengetahuan kecerdasan pikiran di sini. Ia terhenti di ambang pintu seperti bocah yang buta. Ia yang menemukan sesuatu dari Rahasia ini memalingkan mukanya dari kerajaan kedua dunia itu. Wujud yang kubicarakan itu ada tidak secara terpisah; segalanya ialah Wujud ini; ada dan tiada ialah Wujud ini.”

Doa Lukman Sarkhasi

Lukman Sarkhasi berkata, “O Tuhan, hamba sudah tua, dan pikiran hamba rusuh; hamba telah tersesat dari Jalan itu. Bagi seorang abdi yang tua orang-orang biasa memberikan surat kebebasan. Dalam pengabdian hamba padamu, o Raja hamba, rambut hamba yang hitam sudah menjadi putih salju. Hamba seorang abdi, yang merasa sedih berilah kiranya hamba kini surat kebebasan.”
Sebuah suara dari dunia batin menjawab, “Kau, yang terutama telah diperkenankan ke tempat suci ini, ketahuilah bahwa ia yang menghendaki kebebasan dari penghambaan, harus membuang pikirannya dan tidak membiarkan dirinya diliputi kecemasan dan ketakutan.”
Lukman berkata, “O Tuhan hamba, hanya Engkau yang hamba dambakan, dan hamba tahu bahwa hamba tak boleh membiarkan diri dipengaruhi angan-angan atau kecemasan dan ketakutan.” Setelah Lukman meninggalkan semua itu, ia pun berkata, “Kini hamba tak tahu siapa hamba. Hamba bukan abdi, tetapi siapakah hamba? Kedudukan hamba sebagai abdi sudah berakhir, tetapi kebebasan hamba tidak menggantikannya dalam hati hamba tiada suka maupun duka. Hamba tanpa sifat, namun hamba tak kehilangan sifat, Hamba seorang perenung, namun hamba tak punya renungan. Hamba tak tahu apakah Engkau hamba atau hamba Engkau; hamba telah menjadi tiada dalam Engkau dan keduaan pun lenyaplah.”

Seorang Pencinta Menyelamatkan Kekasihnya dari Sungai

Seorang wanita muda jatuh ke dalam sungai, dan pencintanya pun terjun hendak menyelamatkannya. Ketika si pencinta itu dapat meraihnya, wanita itu berkata, “Oh, mengapa kau pertaruhkan hidupmu karena aku?” Jawab si pencinta, “Bagiku tiada orang lain kecuali kau. Bila kita bersama, maka sungguh aku ini kau, dan kau aku. Kita berdua ini satu. Kedua diri-kita satu, itu saja.”
Bila keduaan lenyap, keesaan ditemukan.

Cerita Lain tentang Mahmud dan Ayaz

Ada diceritakan bahwa suatu kali Faruk: dan Masud hadir pada pameran barisan tentara Mahmud yang terdiri dari gajah, kuda dan pasukan perajurit yang tak terhitung banyaknya, sehingga bumi pun seakan tertutup dengan semut dan belalang. Ayaz dan Hassan menyertai Mahmud yang duduk di suatu tempat yang tinggi.
Ketika bala tentara yang hebat itu berjalan dalam barisan melalui mereka, raja besar itu dengan begitu saja berkata pada Ayaz, “Anakku, segala gajah, kuda dan perajuritku ini kini menjadi milikmu, karena cintaku padamu sedemikian rupa sehingga kupandang kau sebagai raja.” Meskipun kata-kata itu diucapkan oleh Mahmud yang termasyhur itu, namun Ayaz tampak tak peduli dan tak bergerak; tiada ia berterimakasih pada raja maupun memberikan ulasan. Dengan heran, Hassan pun berkata padanya, “Ayaz, seorang raja telah memberikan kehormatan padamu, seorang hamba biasa, dan kau tak sedikit juga memperlihatkan tanda berterimakasih; kau pun tak pula membungkuk maupun bersujud sebagai tanda hormat.” Ayaz sedikit berpikir dan kemudian katanya, “Mesti kuberikan dua jawaban atas celaanmu: yang pertama ialah bahwa bila aku, yang tak punya ketetapan dan kedudukan ini, hendak menunjukkan pengabdianku pada raja, maka aku hanya dapat menjatahkan diri pada debu di hadapannya dalam semacam kehinaan diri atau jika tidak demikian, menyanyikan pujian-pujian untuknya dengan suara melolong-lolong. Antara berbuat berlebih-lebihan dan berbuat kelewat sedikit, lebih baik tak berbuat apa-apa. Hamba ini hamba raja, dan hormatku pada raja dianggap sebagai sudah semestinya. Adapun tentang kehormatan yang telah dianugerahkan raja yang berbahagia ini kepadaku, seandainya kedua dunia mesti menyatakan pujian-pujian untuknya, kesaksian keduanya itu pun tak akan sebanding dengan kebaikan raja. Kalau aku tak menunjukkan kelakuan yang berlebihan, dan tak menyatakan kesetiaanku, adalah karena aku merasa diriku tak layak berbuat demikian.”
Hassan berkata, “O Ayaz, aku tahu sekarang bahwa kau merasa berterima kasih dan aku menaruh percaya padamu karena kau layak mendapat seratus karunia.” Kemudian tambahnya, “Kini katakan padaku jawaban yang kedua.” Tetapi Ayaz berkata, “Tak dapat aku bicara dengan bebas di hadapanmu; itu hanya dapat kulakukan kalau aku sendirian saja dengan raja. Kau bukan mahram rahasia itu.” Maka raja pun minta agar Hassan meninggalkan mereka, dan ketika tak ada lagi “kita” atau “aku”, maka Ayaz pun berkata, “Ketika raja berkenan melemparkan pandangan pada diri hamba, ia memusnahkan adaku dengan kegemilangan cahayanya. Karena dalam cahaya mataharinya yang gemilang itu aku tak ada lagi, bagaimana aku akan bersujud diri? Ayaz ialah bayang-bayangnya, hilang dalam matahari wajahnya.”

No comments:

Post a Comment