Seekor burung lain berkata pada Hudhud, “O kau dengan kepercayaanmu yang tulus, tak sedikit pun ada kemauan baik padaku. Aku telah menghabiskan hidupku dalam kekesalan, menginginkan dunia ini. Ada semacam kesedihan dalam hatiku sehingga aku tak henti-hentinya meratap. Aku selalu dalam keadaan bingung dan tak berdaya; dan bila sejenak aku merasa puas, maka aku pun tak percaya. Dengan sendirinya aku pun telah menjadi darwis. Tetapi kini aku ragu-ragu untuk menempuh jalan pengetahuan ruhani. Jika hatiku tak begitu penuh duka, tentulah aku akan tertarik pula dengan perjalanan ini. Tetapi sebagaimana adanya, aku dalam kebingungan. Kini setelah kubeberkan ihwalku di mukamu, katakan padaku apa yang mesti kuperbuat.”
Hudhud berkata, “Kau, yang telah menjadi korban kesombongan, yang tenggelam dalam rasa kasihan terhadap diri sendiri, kau memang patut merasa terusik. Mengingat bahwa dunia ini hanya selintas, maka kau sendiri pun hanya akan melintas lalu pula di sana. Tinggalkanlah dia, karena barangsiapa jadi terikat dengan apa yang fana tak mungkin ambil bagian dalam apa yang kekal. Penderitaan-penderitaan yang kauderita dapat menjadi mulia dan tidak menyebabkan hina. Apa yang pada lahirnya merupakan penderitaan dapat menjadi harta kekayaan bagi si arif. Seratus rahmat akan datang padamu bila kau berusaha menempuh Jalan itu. Tetapi sebagaimana keadaanmu kini, kau hanya kulit pembungkus otak yang tumpul.”
Hamba yang Tahu Berterimakasih
Suatu hari seorang raja yang berwatak baik memberikan buah yang indah dan pelik pada seorang hamba yang mencicipinya dan sesudah itu mengatakan bahwa belum pernahlah dalam hidupnya ia makan sesuatu yang demikian lezatnya. Ini menyebabkan raja ingin mencicipinya sendiri, dan dimintanya sedikit pada hamba itu. Tetapi ketika raja memasukkan buah itu ke mulutnya, dirasainya buah itu amat pahit dan ia pun mengangkat alisnya karena heran. Hamba itu berkata, “Tuanku, karena hamba telah menerima begitu banyak hadiah dari tangan tuanku, bagaimana dapat hamba mengeluh karena buah pahit yang satu saja? Mengingat bahwa Tuanku melimpahkan banyak karunia pada hamba, mengapa buah pahit yang satu saja akan merenggangkan hamba dari Tuanku?”
Begitulah, hamba Allah, bila kau mengalami penderitaan dalam usahamu, yakinlah bahwa itu dapat menjadi harta kekayaan bagimu. Hal itu seakan tampak terbalik, tetapi, ingatlah hamba itu.
Syaikh dan Perempuan Tua
Seorang perempuan tua berkata pada Syaikh Mahmah, “Ajarkan padaku doa agar aku dapat menemukan kepuasan. Selama ini aku senantiasa menjadi mangsa perasaan tak puas, tetapi kini aku ingin bebas dari perasaan demikian.”
Syaikh itu menjawab, “Di masa yang lama lampau aku menarik diri ke dalam semacam benteng di belakang lututku untuk mencari dengan tekun apa yang kuinginkan; tetapi aku tak merasakannya dan tak pula melihatnya. Selama kita tak menerima segala sesuatu dengan sikap cinta, bagaimana dapat kita merasa puas?”
Pertanyaan Kepada Junaid
Seseorang bertanya pada Junaid, “Orang yang menjadi hamba Allah namun bebas, katakan padaku bagaimana agar dapat mencapai kepuasan itu?” Junaid menjawab, “Bila seseorang telah belajar menerima, dengan cinta.”
Zarrah hanya memiliki kecerlangan semu. Pada dasarnya ia hanya sebuah zarrah, tetapi bila ia menyatukan dirinya dalam cahaya matahari, maka dengan demikian ia akan memiliki pula sifat matahari itu senantiasa.
Kelelawar Mencari Matahari
Suatu malam seekor kelelawar terdengar berkata, “Bagaimana kiranya agar aku dapat sejenak saja melihat matahari? Dalam hidupku selama ini aku dalam putus asa sebab tidak sejenak pun aku dapat menenggelamkan diri dalam cahayanya. Berbulan-bulan dan bertahun-tahun aku telah terbang ke sana-sini dengan mata tertutup, dan di sinilah aku!” Suatu makhluk perenung berkata, “Kau diliputi kesombongan, dan kau masih harus beribu-ribu tahun lagi mengembara. Bagaimana dapat makhluk seperti kau ini menemukan matahari? Dapatkah seekor semut mencapai bulan?” “Meskipun demikian”, kata kelelawar itu, “aku akan terus mencoba.” Dan demikianlah beberapa tahun ia terus mencari hingga ia tak punya kekuatan maupun sayap lagi. Karena ia tak juga menemukan matahari, ia pun berkata, “Mungkin aku telah terbang lebih jauh di atasnya.” Seekor burung yang bijak, setelah mendengar itu, berkata, “Kau hidup dalam mimpi; kau hanya berputar-putar saja selama ini dan tak maju selangkah pun; dalam kesombonganmu kau katakan bahwa kau telah pergi lebih jauh di atas matahari!” Ini amat mengejutkan si kelelawar yang setelah menginsafi kedaifannya lalu merendahkan diri sama sekali dengan mengatakan, “Kau telah bertemu dengan seekor burung yang punya penglihatan batin, maka jangan teruskan.”
No comments:
Post a Comment